Oleh: Bagus Riyono
Akhir-akhir ini beredar pemikiran di berbagai media dan media sosial yang cenderung mengarahkan pada anggapan bahwa kita sebagai manusia adalah produk dari kehidupan sosial, yang kemudian disimpulkan bahwa kita tidak berdaya dan harus menerima apapun yang terjadi dalam kehidupan kita. Bahkan agama pun dianggap hanya sekedar warisan yang tidak bisa kita tolak dan tidak bisa kita pertanggungjawabkan. Kemudian pemikiran tersebut sampai pada kesimpulan bahwa nilai tertinggi dalam kehidupan adalah toleransi.Pola pikir seperti ini juga kemudian mengarahkan anggapan terhadap fenomena keberagaman sebagai fenomena yang final dan “mandeg”, yang berdampak pada sikap hidup yang acuh tak acuh yang diberi istilah keren sebagai sikap “netral”. Seolah-olah bersikap netral adalah pilihan yang terbaik dalam kehidupan.Apa yang salah pada pola pikir tersebut?Pola pikir seperti itu membuat kita menjadi tidak lagi memiliki kepekaan terhadap apa yang disebut sebagai “hakikat”. Pengertian hakikat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah [1] Inti sari atau dasar; [2] Kenyataan yang sebenarnya (sesungguhnya). Kata hakikat (haqiqat) merupakan kata benda yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “Al-Haqq”, yang dalam bahasa Indonesia menjadi kata “hak“ yang berarti milik (ke-punyaan), kebenaran, atau yang benar-benar ada, sedangkan secara etimologi, hakikat berarti inti sesuatu, puncak, atau sumber dari segala sesuatu.Bagaimana fenomena hakikat ini berpengaruh dalam kehidupan kita? Berikut ini akan kita ulas tiga contoh konteks dalam kehidupan yang membutuhkan hakikat agar kehidupan tetap berjalan. Ketiga konteks tersebut adalah konteks hukum, kemudian konteks pendidikan, dan konteks keilmuan atau sains.Pada konteks hukum, misalnya pada situasi sidang pengadilan, akan selalu ada pihak penuntut dan pihak pembela. Bisa juga dalam konteks perdata ada persengketaan antara dua pihak yang masing-masing merasa benar dalam kasus yang dihadapi. Kemudian ada hakim atau majelis hakim yang akan bertanggung jawab untuk mengambil keputusan. Dalam mengambil keputusan atau menyampaikan putusan (vonis), hakim atau majelis hakim harus mengkaji dulu permasalahannya sampai bisa memahami hakikat dari permasalahan yang ada. Coba bayangkan jika hakim atau majelis hakim itu bersikap netral, atau menjunjung tinggi toleransi serta keberagaman pendapat dari mereka yang bersengketa. Jika itu yang terjadi, maka keadilan tidak bisa ditegakkan. Jadi hakikat itu perlu digali dan dipelajari untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Itulah sebabnya diperlukan saksi dan bukti-bukti serta logika yang lurus dan jernih.Dalam konteks pendidikan, akan selalu ada ujian atau tes terhadap siswa atau mahasiswa untuk mengetahui siapa yang memang sudah paham dan siapa yang belum paham terhadap materi yang diajarkan. Guru atau dosen tidak bisa bersifat netral atau toleran terhadap jawaban siswa atau mahasiswanya, karena ada jawaban yang benar dan ada jawaban yang salah. Keberagaman pendapat atau jawaban dari siswa atau mahasiswa tidak bisa dianggap selesai di situ saja, namun harus dinilai mana yang bisa dibenarkan dan mana yang tidak bisa diterima sebagai benar. Jadi hakikat itu lebih utama daripada sikap netral maupun toleransi terhadap keberagaman. Seorang Pendidik yang tidak memahami hakikat justru telah gagal dalam mendidik, karena hakikat dari pendidikan adalah supaya peserta didik mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.Dalam konteks keilmuan atau Sains terdapat prinsip prinsip yang harus ditegakkan demi berkembang nya ilmu pengetahuan. Disiplin Sains menuntut kajian yang mendalam terhadap fenomena sehingga bisa di rumuskan atau ditemukan hakikat dari fenomena tersebut. Oleh karena itu, sikap kritis atau skeptis sangat diperlukan. Seorang ilmuwan tidak bisa begitu saja menerima keberagaman pendapat atau kesimmpulan dari hasil-hasil Penelitian. Jika hsil penelitian terhadap sebuah fenomena yang sama kok berbeda-beda maka perlu dilakukan kajian lebih Lanjut. Sebuahteori dianggap Sudah final ketika sudah mampu merumuskan hakikat dari fenomana tersebut yang tak terbantahkan. Ketika sebuah teori Sudah mampu merumuskan hakkikat maka ia disebut sebagai hukum. Misalnya teori gravitasi menjadi hukum gravitasi, karena fenomena gravitasi bersifat hakiki dan tidak terbantahkan lagi.Lalu sebenarnya apakah hakikat dari toleransi, netral, dan keberagaman itu?Toleransi sebenarnya adalah sikap minimal terhadap perbedaan, baik perbedaan ragam maupun perbedaan nilai. Ketika kita toleran terhadap sesuatu, artinya kita belum merasa terganggu oleh perbedaan itu. Jika perbedaan itu sudah mulai mengganggu, maka kita tidak bisa lagi toleran terhadapnya. Toleran artinya kita membiarkannya, tidak perlu ambil pusing terhadapnya. Oleh karena itu toleran adalah sikap yang minimal. Sikap yang lebih tinggi dari toleran adalah “respek”, sehingga kita bisa saling belajar dari perbedaan tersebut. Kemudian sikap yang lebih tinggi lagi adalah sinergi, yaitu kolaborasi yang didasarkan atas perbedaan untuk mencapai sesuatu yang berkualitas tinggi atau mulia, dan bermanfaat bagi semua pihak.Adapun hakikat dari keberagaman adalah sebuah kondisi awal yang harus kita garap untuk mencapai tujuan bersama. Keberagaman menuntut kita untuk saling belajar dan supaya kita bisa mengembangkan diri masing-masing menuju suatu kondisi yang lebih baik. Keberagaman bukanlah tujuan melainkan modal awal bagi proses pengembangan diri masing-masing.Sikap netral pada hakikatnya adalah sikap tidak peduli dan acuh tak acuh terhadap perbedaan karena sebenarnya yang bersangkutan malas untuk mengambil sikap dan tidak mau bertanggung jawab. Orang yang bersikap netral adalah orang yang mencari aman karena apapun hasilnya dia seolah terbebas dari tanggung jawab.Kepekaan terhadap hakikat ini perlu kita tumbuhkan dalam masyarakat agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berpikiran maju dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta bisa memilih yang benar dan meninggalkan yang salah. Hanya dengan itu bangsa Indonesia akan mampu mencapai suatu peradapan yang tinggi dan mulia.#GerakanIndonesiaBeradab
Sumber:
https://www.facebook.com/bagus.riyono
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved