Menuju Peradaban Indonesia yang Tinggi dan Mulia

7 Manfaat Orang Tua Meminta Maaf kepada Anak

December 10, 2024


Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang senantiasa berharap semua akan terwujud sesuai dengan yang diinginkan. Ketika hal tersebut tidak terwujud, seringkali akan menimbulkan kekecewaan, perasaan tidak tenang hingga stres yang dapat mengganggu kehidupan seseorang. Di ranah keluarga pun demikian. Seringkali orang tua berharap kepada anak beberapa hal yang sulit bahkan tidak dapat diwujudkan oleh sang anak, atau justru sang anak bertindak tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tua. Begitu pun sebaliknya, ketika seorang anak memiliki sebuah harapan, namun orang tua salah ataupun merespons tidak sesuai dengan harapan sang anak, nantinya akan menimbulkan konflik yang berujung ketidakharmonisan dalam keluarga tersebut. Pada umumnya, jika terjadi konflik di dalam sebuah keluarga, yang dituntut untuk meminta maaf adalah sang anak karena dianggap sebagai sumber permasalahan.

Ketika di dalam sebuah keluarga terjadi sebuah konflik, alangkah lebih baiknya apabila semua anggota keluarga menghadapi dengan “kepala dingin” dan memperhatikan serta mempertimbangkan segala tindakannya yang memungkinkan akan berdampak pada semua anggota keluarga tersebut. Lalu, apa manfaat ketika orang tua mau untuk memulai meminta maaf kepada anaknya, baik ketika orang tua tersebut melakukan kesalahan maupun ketika sang anak tidak menuruti/melakukan sesuatu sesuai yang diharapkan oleh orang tua?

Setidaknya ada 7 manfaat ketika orang tua memulai untuk meminta maaf kepada sang anak, yaitu:

  1. Anak akan meniru perbuatan meminta maaf tersebut, karena orang tua dinilai layak untuk dijadikan panutan.
    Seorang anak akan lebih banyak belajar atau meniru perilaku yang dicontohkan dari orang tua karena pada umumnya orang tua lah orang yang paling dekat dengan sang anak (Clay & Tennie, 2018).
  2. Anak akan belajar bagaimana meminta maaf terlebih dahulu karena ingin menghormati orang lain.
    Dengan dicontohkannya meminta maaf dari orang tuanya tersebut, anak akan merasa lebih dihargai atau dihormati, yang nantinya akan memunculkan perasaan yang sama sehingga anak akan mulai mencoba meminta maaf terlebih dahulu ketika dia melakukan sebuah kesalahan (Ely & Gleason, 2006).
  3. Anak tidak akan mengalami krisis percaya diri dan sulit mengendalikan emosinya.
    Ketika terjadi sebuah konflik yang disebabkan oleh kesalahan orang tua dan orang tua tidak segera meminta maaf kepada anak, tingkat kepercayaan anak kepada orang tua semakin lama semakin berkurang. Ditambah lagi, efek lainnya adalah anak akan mulai belajar untuk tidak mempercayai orang lain yang telah menyakitinya dan cenderung sulit untuk mengendalikan emosinya (Department of Education and Early Childhood Development – State of Victoria, 2009).
  4. Anak akan menilai orang tuanya adalah sosok yang bersahabat dan tak perlu ditakuti.
    Ketika orang tua merelakan diri untuk memulai meminta maaf, anak merasa lebih dihargai serta akan beranggapan bahwa orang tuanya merupakan sosok yang bersahabat, tidak arogan/sombong, dan tidak perlu ditakuti. Apabila kelak sang anak melakukan sebuah kesalahan, maka dia akan sesegera mungkin meminta maaf kepada orang tuanya juga (Smith, Noh, Rizzo, & Harris, 2017).
  5. Hubungan antara Anak-Orang Tua akan lebih dekat dan sang anak akan merasa nyaman dengan orang tuanya.
    Ketika sudah terjalin hubungan yang baik antara anak-orang tua yang disebabkan oleh orang tua yang senantiasa mau meminta maaf terlebih dahulu apabila melakukan kesalahan, anak tidak akan ragu untuk bercerita dan berbagi segala permasalahannya kepada orang tua. Anak juga akan paham bahwa orang dewasa pun apabila melakukan kesalahan, harus berani untuk meminta maaf (Smith, Chen, & Harris, 2010).
  6. Anak tidak akan merasa dominan.
    Ketika orang tua berani untuk memulai meminta maaf dengan tulus, bukan berarti nantinya anak akan merasa dominan/dia paling benar. Justru dengan memulai meminta maaf seperti itu, orang tua akan lebih dihargai. Dari pihak anak pun nantinya akan berpikir bahwa orang tuanya adalah sosok yang dapat menghargai sang anak (Idaho Youth Ranch, 2020).
  7. Anak akan tumbuh menjadi sosok yang penyayang dan pengasih.
    Dari apa yang dicontohkan oleh orang tuanya, anak akan belajar untuk menjadi orang yang pemaaf, penyayang, serta pengasih kepada orang lain yang melakukan kesalahan kepadanya. Hal ini nantinya akan sangat bermanfaat sekali dalam tumbuh kembang sang anak, baik dari segi psikis maupun dalam kemampuan sang anak berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Haslip, Allen-Handy, & Donaldson, 2019).

Referensi

Clay, Z., Over, H., & Tennie, C. (2018). What drives young children to overimitate? Investigating the effects of age, context, action type, and transitivity. Journal of Experimental Child Psychology, 166, 520–534. https://doi.org/10.1016/j.jecp.2017.09.008

Ely, R., & Gleason, J. B. (2006). I’m sorry I said that: Apologies in young children’s discourse. Journal of Child Language, 33(3), 599–620. https://doi.org/10.1017/S0305000906007446

Smith, C. E., Noh, J. Y., Rizzo, M. T., & Harris, P. L. (2016). When and why parents prompt their children to apologize: The roles of transgression type and parenting style. Journal of Family Studies, 23(1), 38–61. https://doi.org/10.1080/13229400.2016.1176588

Department of Education and Early Childhood Development – State of Victoria. (2009). Addressing parents’ concerns and complaints effectively: Policy and guides (ISBN 978-0-7594-0540-0).

Smith, C. E., Chen, D., & Harris, P. L. (2010). When the happy victimizer says sorry: Children’s understanding of apology and emotion. British Journal of Developmental Psychology, 28(4), 727–746. https://doi.org/10.1348/026151009X475343

Idaho Youth Ranch. (2020). 3 reasons apologizing to your child is important. Retrieved from https://www.youthranch.org/blog/being-human

Haslip, M. J., Allen-Handy, A., & Donaldson, L. (2019). How do children and teachers demonstrate love, kindness, and forgiveness? Findings from an early childhood strength-spotting intervention. Early Childhood Education Journal, 47(4), 531–547. https://doi.org/10.1007/s10643-019-00951-7

Penulis: Muhamad Machbub Aozai, M.Psi, Psikolog. / LAKI

Penyunting: Lu’luul Jannah, S.Psi. / LAKI

Sumber gambar: Freepik