JAKARTA – Suasana tampak serius ketika 16 orang tokoh dari berbagai latar belakang, termasuk BMIWI, yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Beradab (GIB) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diterima Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati di Gedung DPR RI, Senin (9/9/2024). Topik yang dibahas cukup berat yaitu mengenai keresahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Dengan PP ini, GIB menyoroti sejumlah pasal yang dianggap bermasalah.
GIB menyampaikan kekhawatiran mereka, bahkan mengkritik bagaimana PP tersebut dirumuskan tanpa melibatkan tokoh-tokoh agama, terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam kesempatan tersebut, GIB menyoroti adanya 1.172 pasal dalam PP ini. Dari angka itu, mereka telah mendalami sekitar 500 pasal. Daftar inventaris masalah pun telah disusun. Salah satu poin utama yang diangkat oleh GIB adalah absennya konsultasi dengan tokoh agama saat merumuskan PP ini. Dalam pandangan mereka, pelibatan pihak seperti MUI sangat penting mengingat dampak sosial yang besar dari peraturan ini.
Salah satu suara yang mencuat dalam pertemuan ini adalah dari Prof. Euis Sunarti, seorang Guru Besar Ketahanan Keluarga IPB. Dalam paparannya, Euis menyoroti bahwa PP 28/2024 ini merupakan hasil dari proses panjang sosialisasi Comprehensive Sexuality Education (CSE) atau Pendidikan Seksualitas Komprehensif. Menurut Euis, sejak tahun 2005, konsep ini telah diperkenalkan secara sistematis di berbagai lini pendidikan di Indonesia, dan kini hasilnya dituangkan dalam bentuk regulasi pemerintah.
“Ada sosialisasi yang sistematis sejak 2005, dan buahnya sekarang dengan lahirnya PP 28/2024 ini”, ungkapnya. Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Euis, adalah keterlibatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam distribusi modul pendidikan yang mengandung muatan CSE. Modul tersebut bahkan, menurutnya, telah diajarkan kepada remaja di seluruh Indonesia. Ini dianggap sebagai upaya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat.
Pernyataan Euis menyiratkan bahwa BKKBN kecolongan dalam proses ini. Bagi GIB, modul-modul yang diterbitkan dan disebarkan oleh BKKBN mencerminkan upaya liberalisasi seks di kalangan remaja Indonesia. “Isinya sangat liberal,” tegas Euis. Dalam hal ini, PP 28/2024 dianggap sebagai manifestasi dari pendekatan yang lebih terbuka terhadap pendidikan seksualitas, yang menurut mereka tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Namun, apakah memang demikian adanya? Pembahasan ini tentu membutuhkan kajian lebih lanjut dan keterlibatan lebih banyak pihak, terutama tokoh-tokoh masyarakat, agama, serta akademisi. Dalam konteks ini, GIB tidak hanya mengajukan kritik, tetapi juga mengusulkan revisi terhadap sejumlah pasal dalam PP tersebut.
Rapat ini tidak hanya berhenti pada diskusi dan pertukaran pandangan. Sejumlah kesimpulan penting berhasil dirumuskan sebagai langkah ke depan.Diantaranya, GIB menyoroti perbedaan antara proses pembahasan UU yang melibatkan DPR, sedangkan pembahasan PP cenderung dilakukan sepihak oleh pemerintah tanpa konsultasi lebih luas. GIB akan mengirim surat keberatan terkait pasal-pasal tertentu dalam PP 28/2024 kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA).
Komisi IX DPR RI akan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bersama Kementerian Kesehatan untuk membahas PP 28/2024. Daftar inventaris masalah yang disampaikan oleh GIB akan menjadi salah satu bahan utama dalam diskusi ini. Di samping itu, GIB, bersama organisasi masyarakat lainnya, berencana melanjutkan langkah judicial review (JR) ke Mahkamah Agung untuk menantang beberapa pasal dalam PP tersebut. Mereka juga mengajak ormas-ormas lain yang sevisi untuk bergabung dalam upaya ini.
Rencana langkah judicial review yang diajukan oleh GIB merupakan upaya hukum yang sering kali diambil dalam situasi di mana regulasi dianggap melanggar prinsip-prinsip konstitusi atau bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung masyarakat. Dalam konteks PP 28/2024, GIB merasa bahwa sejumlah pasal dapat merusak moralitas masyarakat, terutama terkait dengan isu seksualitas.
Bagi mereka, judicial review adalah alat untuk memastikan bahwa suara masyarakat tetap didengar dalam proses pembentukan hukum. Dengan menggandeng ormas-ormas lain, GIB berharap dapat membangun koalisi yang kuat untuk melawan peraturan yang dianggap berbahaya ini. GIB juga menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mendukung upaya mereka. Keterlibatan aktif masyarakat, terutama ormas-ormas adalah kunci untuk memberikan tekanan politik dan sosial terhadap pemerintah. Surat keberatan yang akan dikirim kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian PPA menjadi langkah awal dalam proses ini. Mereka berharap, dengan adanya suara kolektif dari berbagai elemen masyarakat, pemerintah akan lebih terbuka untuk mempertimbangkan kembali PP 28/2024 dan mungkin melakukan revisi terhadap pasal-pasal yang kontroversial.
Selain Prof. Euis Sunarti, sejumlah tokoh penting hadir dalam RDPU ini. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan organisasi, yang semuanya tergabung dalam Gerakan Indonesia Beradab. Kehadiran berbagai pihak dengan latar belakang ini mencerminkan luasnya spektrum kekhawatiran terhadap PP 28/2024, mulai dari aspek hukum, agama, kesehatan, hingga pendidikan. Mereka semua sepakat bahwa ada kejanggalan dalam proses perumusan PP ini dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, terutama generasi muda.
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved