Menuju Peradaban Indonesia yang Tinggi dan Mulia

“Ada Bullying di Sekolah Anakku”: Cara Orang Tua dalam Menyikapi Bullying dengan Tepat dan Tetap Tenang

November 9, 2023


Akhir-akhir ini fenomena bullying kembali meruak dan meramaikan berita, baik di jagat maya maupun dunia nyata. Sejak dahulu, sudah tak asing lagi terdengar di telinga kita soal kasus bullying di sekolah. Meskipun kasus bullying sudah ramai sejak dahulu, sampai sekarang banyak kasus-kasus baru tentang perilaku anak sekolah yang semakin menyimpang dan membahayakan orang lain, ekstremnya hingga pemerkosaan dan pembunuhan sehingga boleh jadi sekolah dapat dianggap sebagai tempat yang tak lagi aman, mengintimidasi, dan menakutkan bagi anak. Keresahan ini menjadi bukti bahwa penting sekali bagi orang tua dan sekolah sebagai guru kehidupan anak untuk menyadari dan mengambil aksi dalam menciptakan perubahan menuju sekolah yang aman dan menyenangkan juga mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang kian tercemar. 

Sahabat LAKI! Dalam artikel ini kita akan membahas seputar dampak bullying dan tips bagi orang tua dalam menyikapi bullying dengan tepat dan tenang. Informasi yang dibahas ini tentunya tak kalah penting dan menarik, jadi jangan sampai terlewatkan, ya!

Bagaimana, ya, dampak bullying jika dianggap enteng dan tidak diatasi dengan tepat dan berkesinambungan?

  1. Korban Bullying Terganggu Kesejahteraan Psikologisnya (well-being)

Perilaku agresif ini berdampak besar bagi kesehatan fisik maupun mental siswa. Dampak perilaku bullying bahkan sampai menghilangkan nyawa dan menumbuhkan bibit gangguan kejiwaan kepada anak, baik korban maupun pelaku.

  1. Tradisi Bullying yang Tidak Terputus

Bullying jika diabaikan dan tidak ditangani dengan serius dapat berpotensi membuat korban bullying melakukan balas dendam atau menirukan perilaku pelaku yang merundungnya.

  1. Mengancam Pendidikan Bangsa

Bullying tentu sangat merugikan bagi masa depan anak. Pencapaian akademik dapat menurun ketika anak-anak menjadi tidak bersemangat untuk belajar ke sekolah karena sudah merasa bahwa sekolah merupakan tempat yang tidak aman dan menakutkan.

Lalu, bagaimana orang tua dengan peran yang krusial ini agar tetap menyikapi bullying dengan tepat dan tetap tenang?

  1. Memahami Kondisi Anak Remaja: Dalam Masa Pencarian Jati Diri dan Rentan Mengikuti Perilaku Agresif

Pertama, penting sekali untuk memahami kondisi tahap perkembangan anak dan remaja. Mereka masih dalam kondisi psikologis yang labil dan tindakan mereka sebagian besar dipengaruhi oleh perasaan dan lingkungan sosial, juga mereka belum sepenuhnya rasional dalam mempertimbangkan  risiko dan konsekuensi dari perilaku mereka (Steinberg, 2004). Adapun kasus bullying yang terjadi di sekolah biasanya terjadi karena perasaan ingin diakui atau perasaan bangga masuk ke dalam kelompok tertentu dan buah dari fenomena senioritas yang dilakukan kakak kelas kepada adik kelas. 

  1. Menjadi Model bagi Anak dan Memberikan Support secara Emosional

Dari teori Social Learning Albert Bandura, kita tahu bahwa anak-anak dapat belajar dan menirukan sesuatu dengan mudah dari lingkungannya. Anak dapat mengadaptasi perilaku model, bisa dari orang dewasa, guru/pihak sekolah, orang tua, dan/hingga lingkungan pergaulan yang salah. Terutama anak dan remaja yang tinggal di daerah dengan kejahatan dan kriminalitas yang tinggi sangat rentan mengadaptasi perilaku berisiko dan agresif.

Alangkah baiknya orang tua menjadi model yang baik dengan mendisiplinkan anak tanpa berteriak dan memandang bahwa kekerasan dalam bentuk apapun, baik fisik maupun verbal, sebagai bentuk pendisiplinan anak bukanlah hal yang tepat dan lumrah. Terkadang tanpa disadari, ternyata orang tua atau guru di sekolah lah yang menjadi pelaku bullying pertama bagi anak. Contoh dekatnya dalam kehidupan sehari-hari, orang tua suka memanggil anak dengan panggilan yang kurang baik dan mengandung ejekan, seperti “Si Gendut” atau “Si Pesek”, yang mana hal ini dapat berdampak pada mental anak, seperti menurunkan kepercayaan diri anak dan mengembangkan rasa rendah diri anak. 

Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan sekolah untuk memperbaiki dan mengembangkan pengasuhan yang positif, seperti mulai memberikan panggilan yang baik kepada anak “Si Keren”, “Si Baik”, dan sebagainya.

Dengan menjadi model yang baik dan memberikan pengasuhan yang positif, orang tua mendukung kematangan emosi anak dan memberikan ruang bertumbuh diatas kesalahan-kesalahan anak sehingga mereka memiliki mental yang lebih sehat, yakni bahagia dan percaya diri.

  1. Mengajarkan Anak Dua Hal Krusial: Empati dan Asertivitas

 Mengajarkan empati kepada anak berarti mengajarkan mereka untuk mengambil dan melihat perspektif orang lain supaya mereka lebih sadar untuk menghargai emosi dan sudut pandang orang lain. Sedangkan mengajarkan anak menjadi asertif berarti mengajarkan kepada anak untuk terbuka dan jujur dalam mengekspresikan diri sendiri.

Menurut penelitian, banyak korban bullying memiliki karakteristik low self-esteem sehingga melatih keterampilan asertif dapat membangun harga diri, yang nantinya para korban akan lebih mampu melindungi diri mereka dari bullying di masa depan. Selain itu, peneliti telah menemukan bahwa korban bullying yang mengembangkan keterampilan asertif mengalami penurunan tingkat penindasan. Tak hanya itu, pengajaran empati kepada pelaku bullying telah direkomendasikan sebagai komponen penting dalam upaya anti-bullying (Hazler, 1994; Kaiser & Rasminsky, 2003; Macklem, 2003).

Nah, permasalahan bullying ini tak boleh hanya dianggap sebagai kenakalan biasa pada anak dan tentunya tak boleh luput dari perhatian orang tua ataupun guru. Sesuai dengan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 54 yang berbunyi, “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Dengan demikian, orang tua dan sekolah sudah seharusnya turut andil dalam langkah anti-bullying dengan mencegah anak menjadi pelaku maupun korban bullying.

Referensi

Hazler, R. J. (1996). Breaking the cycle of violence: Interventions for bullying and victimization. Taylor & Francis.

Kaiser, B., & Rasminsky, J. S. (2003). Challenging behavior in young children: Understanding, preventing, and responding effectively. Pearson.

Macklem, G. L. (2003). Bullying and teasing: Social power in children’s groups. Kluwer Academic/Plenum.

Steinberg, L. (2004). Risk taking in adolescence: What changes, and why?. Annals of the New York Academy of Sciences, 1021(1), 51–58. https://doi.org/10.1196/annals.1308.005 

Penulis : Siti Nisrina Hanifah/LAKI

Editor : Nur Rohmah Itsnaini/LAKI

Image by gpointstudio on Freepik