Aturan mengenai kesusilaan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (KUHP) harus ditinjau kembali untuk mencegah masyarakat Indonesia terjebak dalam perilaku-perilaku menyimpang yang hanya didorong oleh hawa nafsu dan mengabaikan akal sehat dan hati nurani sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hal tersebut diungkapkan Ahli Psikologi Universitas Gadjah Mada Bagus Riyono dalam sidang pengujian KUHP yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/11).
Selaku ahli yang dihadirkan Yayasan Peduli Sahabat (Pihak Terkait), Riyono menjelaskan KUHP Pasal 284, 285, dan 292 bukan hanya tidak sejalan dengan Pancasila, tetapi juga bertentangan dengan deklarasi universal tentang hak asasi manusia. Ia pun menerangkan pada 2015, para peneliti menemukan bahwa homoseksual bukanlah bawaan lahir seperti klaim selama ini. Joseph Davis, lanjutnya, menyampaikan bahwa dia menemukan 26 jurnal ilmiah yang menunjukan data bahwa homoseksual disebabkan oleh banyak faktor dan kebanyakan adalah faktor sosial seperti pola asuh dan pergaulan.
Masih mengutip Joseph Davis, Riyono menuturkan bahwa klaim terhadap adanya gen homoseksual juga tidak valid karena penelitian terhadap kembar identik menunjukkan bahwa tidak ada kepastian bahwa jika salah satu dari kembar identik tersebut homoseksual, berarti saudara kembarnya juga homoseksual.
“Politisasi yang telah terjadi dalam ilmu psikologi ini perlu diwaspadai oleh ilmuan, terutama ilmuan psikologi di Indonesia. Karena tanggung jawab kepada masyarakat menuntut para ilmuan psikologi dan psikiatri untuk menjaga prinsip-prinsip ilmiah. Di samping itu, gerakan pendukung homoseksual ini telah menjadi ancaman bagi bangsa dan negara Indonesia. Baik secara kesehatan, kemasyarakatan, moralitas, maupun pertahanan dan keamanan negara. Masyarakat bersama pemerintah harus bekerjasama di segala bidang untuk mencegah dampak buruk politisasi ilmu psikologi ini terhadap generasi,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
LGB, Gangguan Jiwa
Dalam sidang tersebut, selain Bagus Riyono, Yayasan Peduli Sahabat juga menghadirkan Spesialis Kedokteran Jiwa Fidiansjah sebagai Ahli. Dalam keterangannya, Fidiansjah menjelaskan PDSKJI sebagai perhimpunan komunitas psikiater resmi di Indonesia telah memberi pernyataan dan sikap resmi terkait dengan masalah dalam konteks orentasi seksual. PDSKJI menetapkan transeksualisme adalah gangguan identitas jenis kelamin yang jelas tercantum di dalam penggolongan diagnosis gangguan jiwa edisi ketiga dan ini dikategorikan sebagai ODGJ. Sementara lesbian, gay, dan biseksual (LGB) merupakan orang yang mempunyai masalah fisik, mental, dan sosial sehingga pertumbuhan dan pengembangan dan/atau kualitas hidupnya memiliki risiko mengalami gangguan jiwa atau dikenal dengan ODMK.
Menurut Fidiansjah, adanya permohonan dalam Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 untuk melakukan pengujian materiil atas pasal terkait perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual, merupakan momentum yang strategis untuk menutup celah-celah hukum yang belum menyeluruh untuk melindungi warga negara Indonesia termasuk orang dengan masalah same sex attraction (SSA).
“Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat memberikan celah kepada para klien Peduli Sahabat melakukan tindakan pencabulan sesama jenis kembali, baik yang dilakukan secara suka sama suka ataupun paksaan dan hal tersebut sangat mengganggu mereka yang sedang dalam masa pendampingan untuk kembali ke fitrah heterokseksual yang sesuai dengan norma sosial budaya dan agama yang diyakini,” tegasnya.
Inkonstitusional
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Syaiful Bakhri selaku ahli yang dihadirkan MUI menerangkan mengenai pembatasan usia dalam delik pencabulan yang semestinya mencakup delik homoseksual atau lesbian. Menurutnya, penentuan batas umur yang demikian itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 KUHP jelas inkonstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Di samping itu, lanjutnya, ketentuan Pasal 292 KUHP adalah muatan hukum tertulis yang absurd dan tidak memiliki kepastian hukum yang adil. Frasa “orang dewasa” sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo, tidak jelas maknanya.Dalam pasal a quo, tidak ditentukan apa parameter dan kriteria yang menyatakan pelaku adalah orang dewasa atau bukan orang dewasa karena sesungguhnya kedewasaan seseorang dapat diukur dari berbagai hal, yaitu umur, perilaku, maupun ritual-ritual yang dilakukan sebagai pertanda seorang telah dewasa.
“Ketentuan Pasal 292 KUHP yang juga mengandung frasa lain yang absurd, yaitu frasa belum dewasa. Pada frasa belum dewasa ini juga janggal karena perihal parameternya yang juga tidak jelas. Belum dewasa di dalam Pasal 292 KUHP, apakah belum dewasa dalam artian sikap atau dari segi umurnya? Inilah yang kemudian merupakan norma yang memiliki materi muatan yang absurd, sehingga tidak memiliki kepastian hukum yang adil,” paparnya.
Berdasarkan hal tersebut, ia menyimpulkan ketentuan Pasal 292 KUHP yang memuat ketentuan pengaturan yang absurd berpotensi mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum, sehingga dampaknya ketentuan a quo akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan cenderung mengakibatkan terlanggarnya hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil.
Perkara yang dimohonkan sejumlah masyarakat dengan latar belakang berbeda tersebut memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Mewakili para Pemohon, Evi Risna Yanti memaparkan pokok permohonannya. Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut. (Lulu Anjarsari/lul)
Sumber:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=13436
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved