“Kalau anak saya nakal, menurut saya sih solusinya ya bawa aja ke pondok, biar dia mikir sendiri.”
Pernahkah Anda mendengar kalimat yang serupa dengan kalimat di atas? Atau apakah Anda merupakan orang tua yang menganggap bahwa pemikiran tersebut merupakan hal yang tepat? Jika jawabannya adalah “Ya”, selamat! Karena itu artinya Anda sedang berada di laman artikel yang Anda butuhkan.
Artikel ini akan mengulik lebih dalam terkait stigma orang tua terhadap perilaku anaknya dan cara menanggapi permasalahan dalam pengasuhan anak. Rentang perkembangan manusia dimulai dari masa bayi, balita, anak-anak, remaja, hingga dewasa. Remaja, dalam hal ini merupakan individu yang berusia 12-18 tahun, sedang berada pada masa pubertas dan pencarian identitas. Pada tahap perkembangan remaja, individu mulai memiliki pemikirannya sendiri sehingga terkadang ada masa di mana mereka tidak ingin mendengarkan nasehat dari orang tuanya. Hal ini menyebabkan orang tua mengalami tantangan yang lebih berat dalam mengasuh anak remajanya.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua dalam mengasuh anak remajanya agar orang tua tetap bisa memberikan arahan dan remaja tetap merasa nyaman dengan gaya pengasuhan orang tuanya? Berikut lima strategi dalam membimbing anak remaja agar mereka tetap merasa aman dan nyaman dengan gaya pengasuhan orang tuanya.
Saat anak berada pada usia remaja, mereka ingin memiliki hidup yang lebih bebas dan tidak merasa dikekang oleh orang tuanya. Namun, terkadang orang tua belum menyadari hal ini sehingga orang tua tetap memperlakukan anaknya sebagaimana anak kecil yang mudah diatur. Akibatnya, sebagian anak menanggapi ini dengan memberontak kepada orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua perlu menyikapi permasalahan ini dengan bijak, yaitu dengan menentukan batasan yang harus dipatuhi oleh anak remajanya. Dalam menentukan batasan ini, orang tua perlu berdiskusi dengan anaknya secara dua arah. Anak memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya dan orang tua perlu mendengarkan serta mempertimbangkan pendapat anaknya. Jika proses ini berhasil dilakukan dengan baik, anak akan merasa dipedulikan dan sudah tidak merasa keberatan dalam mematuhi batasan yang telah ditentukan.
Diinterupsi saat berbicara merupakan hal yang lebih menyakitkan daripada yang Anda kira. Sebaliknya, dengan menunggu anak berbicara hingga akhir, orang tua dapat memiliki waktu lebih banyak untuk memikirkan tanggapan yang sebaiknya diberikan. Anak juga akan merasa dihargai saat orang tuanya mendengarkan mereka berbicara hingga akhir tanpa diinterupsi. Selain itu, orang tua dapat memahami perspektif anak sehingga percakapan tidak berakhir dengan pengambilan keputusan secara sepihak dalam menentukan hal yang baik maupun hal yang menjadi batasan bagi anaknya dalam berperilaku. Hal ini perlu diterapkan tidak hanya saat anak beranjak remaja, melainkan harus dimulai sejak anak masih berada di usia dini.
Setiap orang akan mengalami kegagalan maupun melakukan kesalahan minimal sekali dalam hidupnya. Tentunya, hal ini juga berlaku pada remaja. Ketika orang tua mengetahui bahwa anak mereka sedang bersedih, terkadang orang tua segera merespon dengan cara yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak. Misalnya dengan memarahi anak, melarang anak untuk menangis, memberikan ancaman, dan cara sejenis lainnya. Padahal, rasa sedih anak adalah kondisi yang perlu orang tua pahami dahulu agar bisa membuat anak lebih tenang. Hal ini karena setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi rasa sedih atau bangkit atas kesalahan yang dilakukan. Dalam menyikapi hal tersebut, orang tua sebaiknya terlebih dahulu mendengarkan keluh kesah atau curahan hati anaknya yang sedang merasa sedih atau terpuruk. Kemudian, orang tua dapat menanamkan pemahaman bahwa gagal atau melakukan kesalahan merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Selain itu, gagal merupakan proses pembelajaran agar seseorang dapat menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Selanjutnya, orang tua dapat mengajak anak untuk tidak berfokus pada kesalahan yang dilakukan, melainkan pada hal yang dapat mereka lakukan atau perbaiki atas kesalahan tersebut.
“Kalau anak saya nakal, menurut saya sih solusinya ya bawa aja ke pondok, biar dia mikir sendiri.”
Merupakan hal yang wajar jika orang tua merasa khawatir anak remajanya terjerumus dalam pergaulan bebas, penggunaan narkoba, atau kenakalan remaja sehingga orang tua tidak perlu menutupi kekhawatirannya akan hal-hal tersebut atau bahkan langsung menyikapinya dengan memberi aturan-aturan ketat pada anak remajanya. Sebaliknya, orang tua dapat mengarahkan anak remajanya pada informasi yang bermanfaat. Informasi tersebut tidak hanya mencakup dampak-dampak yang kemungkinan dialami remaja saat mereka terlibat dalam kenakalan remaja, penggunaan narkoba, atau pergaulan bebas, melainkan orang tua dapat mengarahkan remajanya pada aktivitas-aktivitas seperti hobi maupun kegiatan produktif dan bermanfaat untuk anak usia remaja.
Selain itu, permasalahan yang sering terjadi pada masyarakat adalah pemahaman yang parsial dan cenderung ekstrem. Oleh karena itu, pemikiran bahwa solusi utama dalam mengatasi anak yang nakal, yaitu dengan membawa mereka ke pondok pesantren maupun institusi berbasis agama, bukanlah merupakan pemikiran atau sikap yang tepat. Hal ini karena anak perlu ditanamkan terlebih dahulu mengenai perilaku yang baik, tidak hanya berdasarkan nasehat, melainkan orang tua perlu memberi contoh yang baik untuk ditiru oleh anak remajanya. Selain itu, pencegahan perilaku menyimpang pada anak juga dapat dilakukan dengan membangun hubungan yang positif antar anggota keluarga, komunikasi yang baik, dan kehangatan emosional.
Saat memasuki usia remaja, anak tidak hanya berubah dari menganggap bahwa, “orang tua dapat mengontrol apa yang saya lakukan” menjadi, “orang tua tidak dapat mengatur atau menghentikan saya tanpa persetujuan dari saya”, melainkan anak juga berubah dari, “saya memberitahu segala hal kepada orang tua saya” menjadi, “saya lebih baik tidak memberitahu orang tua saya mengenai beberapa hal”.
Meskipun remaja masih membutuhkan arahan dari orang tuanya, bukan berarti orang tua memiliki hak sepenuhnya atas ruang gerak dan privasi anak remajanya. Oleh karena itu, orang tua perlu memberikan ruang dan privasi untuk anak remajanya sambil tetap memberi arahan dan mengawasi perilaku mereka agar remaja menjadi tahu batasan yang tidak boleh mereka lewati.
Saat pasangan suami-istri memiliki anak, itu berarti bahwa mereka akan menjadi pembelajar seumur hidup. Hal ini karena mereka akan terus mempelajari dan mengetahui bahwa kebutuhan anak tidak hanya sandang, pangan, papan, dan pendidikan, melainkan anak juga butuh perhatian dan panutan. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, dan kasih sayang dari orang tuanya, tidak terkecuali saat mereka telah memasuki usia remaja. Dengan demikian, apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi, mereka akan merasa aman karena memiliki orang tua yang mendukungnya. Hal ini karena kebutuhan akan rasa aman merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi setelah kebutuhan fisiologis, seperti makan dan minum. Sedangkan, panutan dalam hal ini merupakan orang dewasa yang dapat memberikan contoh yang baik sehingga anak bisa tumbuh dewasa menjadi individu yang seutuhnya. Karena pada dasarnya, perilaku dari setiap individu dapat berasal dari proses mengamati dan meniru orang yang ada di sekitarnya.
Penulis: Reni Ramadhina
Penyunting: Annisa Ardi Ayuningtyas
Referensi
Bandura, A., & Walters, R. H. (1977). Social learning theory (Vol. 1). Prentice Hall: Englewood cliffs.
Maslow, A. (1968). Toward a psychology of being. New York, NY: Van Nostrand.
Nemko, M. (2021, January 29). Interrupting is more harmful than you think. Psychology Today. Diakses 30 September 2022, dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/how-do-life/202101/interrupting-is-more-harmful-you-think
NHS. (2020, January 27). Coping with your teenager. NHS UK. Diakses 30 September 2022), dari https://www.nhs.uk/mental-health/children-and-young-adults/advice-for-parents/cope-with-your-teenager/
Pickhardt, C. (2020, February 24). Parenting and adolescent privacy. Psychology Today. Diakses 30 September 2022, dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/surviving-your-childs-adolescence/202002/parenting-and-adolescent-privacy Riyono, B. Keluarga sebagai Fondasi Peradaban Bangsa: Sebuah Strategi Memanfaatkan Bonus Demografi secara Optimal. Buletin Psikologi, 30(1), 59-77.
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved