Oleh: M Syamsul Arifin Munawwir
PSIKOLOGI Islam sebagai ilmu terus berkembang dan menebar manfaat bagi umat dan bangsa. Hal ini adalah buah dari upaya Asosiasi Psikologi Islam (API) sebagai organisasi psikolog dan ilmuwan psikologi Islam di Indonesia.
Beberapa waktu lalu (14/4/16), API menyelenggarakan Pelantikan dan Rapat Kerja di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebanyak 71 pengurus pusat, dewan pakar, dan dewan pertimbangan periode 2016-2020 dilantik ketua umum Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Dr Seger Handoyo, Psikolog. Sebagai ketua umum API Prof Subandi, PhD, Psikolog, yang terpilih untuk periode kedua pada Konferensi API 2015 lalu.
Menariknya, acara ini juga menjadi tonggak sejarah perubahan API dengan disahkannya perubahan nama, yang asalnya Asosiasi Psikologi Islami menjadi Asosiasi Psikologi Islam. Lalu apa bedanya?
Sejak booming pengembangan psikologi Islam, muncul beberapa pertanyaan yang sepintas meragukan psikologi Islam. Tulisan ini akan mencoba menjawabnya. Pertama, apakah memang ada psikologi Islam itu? Semenjak Prof Malik Badri menulis buku The Dilemma of Muslim Psychologist pada 1979, psikologi Islam sebagai ilmu telah berkembang pesat di berbagai belahan dunia. Indonesia adalah negara yang perkembangan psikologi Islamnya sangat dinamis. Hal ini disampaikan Prof Malik Badri saat hadir di NCIP Yogyakarta awal 2016.
Di Indonesia, psikologi Islam berkembang pesat sejak munculnya buku Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi karya Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso (1994), yang disusul buku psikologi Islam lainnya dari Bastaman (1995), Mubarok (1998), Mujib & Mudzakkir (1998), hingga para ahli psikologi Islam membentuk Asosiasi Psikologi Islam (API) pada 2002, yang bersekretariat di UII Yogyakarta.
Dalam rumusan Tim Adhoc API (2015), psikologi Islam adalah ilmu tentang jiwa dan perilaku manusia berdasarkan sumber utama Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Selain itu, menurut Prof Subandi, psikologi Islam modern bersumber dari psikologi Islam klasik yang dikembangkan dengan penelitian empiris (uinsgd.ac.id, 1/3/16). Di antara tokoh psikologi Islam klasik adalah Imam al-Ghazali, Ibnu Sina, al-Razi, Ibnu Maskawaih, al-Balkhi.
Selain sumber-sumber dari teks al-Qur’an, Hadis, dan pemikiran ulama klasik, kebenaran teori psikologi harus mendapat dukungan empiris. Berbagai macam riset empiris telah dilakukan peneliti-peneliti psikologi Islam, seperti tentang shalat, zikir, puasa, kebersyukuran, tafakur, keikhlasan, dsb.
Kedua, apa bedanya psikologi Islam dan psikologi Barat? Dijelaskan oleh Prof Djamaludin Ancok, psikologi Islam merupakan psikologi yang mengembangkan ilmu berbasis al-Quran dan Hadis sebagai sumber hipotesis. Berbeda dengan psikologi Barat yang umumnya mengesampingkan aspek agama, bagi orang Asia termasuk Indonesia aspek agama merupakan dasar hidup manusia. Ilmu mengenai psikologi Islam ini sejatinya sudah ada sebelum psikologi barat modern muncul, karena secara keseluruhannya tertuang dalam al-Quran (umy.ac.id, 8/10/12). Namun sebagai suatu gerakan keilmuan, psikologi Islam mulai berkembang pesat sejak tahun 1990-an.
Ketiga, apa manfaat psikologi Islam? Sebagai ilmu psikologi yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, psikologi Islam memberi penjelasan ilmiah terhadap ayat dan Hadis terkait jiwa dan perilaku manusia. Selain itu juga memberi solusi atas problem-problem psikologis dengan intervensi islami, seperti psikoterapi islami bagi pecandu narkoba dsb, konseling islami, dan psikoedukasi islami. Berbagai penelitian yang dimuat di jurnal-jurnal psikologi telah mengungkap efektivitas intervensi psikologi Islam tersebut.
Keempat, apa bedanya psikologi islami dan psikologi Islam? Beberapa tahun lalu sempat ada perdebatan tentang nama psikologi Islami dan psikologi Islam. Pada 2015, API membentuk Tim Adhoc yang diketuai Dr Fuad Nashori untuk mengkajinya. Menurut rumusan Tim Adhoc, ada berbagai istilah yang muncul berkaitan dengan usaha untuk menghasilkan ilmu tentang jiwa dan perilaku manusia berdasarkan sumber utama Islam al-Qur’an dan Hadis. Di antaranya istilah ‘psikologi Islami’, ‘psikologi Islam’, dan ‘psikologi kenabian’. Sejak berdiri pada 2002, API menggunakan nama ‘psikologi Islami’ hingga 2015.
Sebagian pihak mengungkapkan bahwa dua istilah tersebut mewakili dua arus yang bertentangan. Yaitu ‘psikologi Islami’ mewakili pilihan para ahli untuk menonjolkan ilmu psikologi yang dilatari oleh konsep Islam, sedang ‘psikologi Islam’ dimaksudkan “sebagai bagian” dari studi Islam untuk menjelaskan berbagai fenomena psikologi. Tim Adhoc menyadari bahwa para pengkaji psikologi Islami dan psikologi Islam sama-sama sepakat menempatkan al-Qur’an dan Hadis sebagai dasarnya dan menempatkan psikologi Islam sebagai bagian dari psikologi kontemporer.
Akhirnya, Tim Adhoc menyimpulkan lebih tepat istilah ‘psikologi Islami’ diubah menjadi ‘psikologi Islam’. Alasan paling pokok, istilah Islam adalah istilah yang genuine dan dibuat oleh Allah swt. Upaya mendekatkan pada Islam yang genuine menjadi alasan mengapa nama upaya intelektual ini lebih tepat psikologi Islam. Alasan lain, istilah Islam adalah istilah yang biasa dipakai dalam wacana keilmuan Islam, seperti ekonomi Islam, hukum Islam, dll.*
Staf Ahli PP. Sidogiri Pasuruan dan Pengurus Pusat Asosiasi Psikologi Islam (API)
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Sumber:
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved