Menuju Peradaban Indonesia yang Tinggi dan Mulia

Generasi Muda Indonesia Darurat Kesiapan Menikah, Benarkah?

April 1, 2023


Indonesia tengah mengalami angka perceraian yang cukup tinggi, dan menunjukkan peningkatan angka perceraian pada tahun 2017-2021 sebesar 53% (databoks.katadata.co.id). Penyebab perceraian mayoritas disebabkan oleh adanya konflik yang tidak menemui jalan keluar. Perihal perceraian ini, pemerintah berupaya mengurangi angka perceraian dengan membuat kebijakan perlunya dilakukan kursus untuk catin (calon pengantin) sebelum menikah sebagai usaha prevensi terhadap kasus perceraian. Peraturan ini disempurnakan dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/542 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Adanya kebijakan tersebut menunjukkan salah satu bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesiapan menikah pada generasi muda. 

Memangnya, bagaimanakah kondisi sebenarnya dari kesiapan menikah pada generasi muda Indonesia? Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia (LAKI) telah mengadakan survei pada tahun 2022 yang bertujuan untuk melihat kesiapan menikah pada generasi muda. Survei tersebut diisi oleh 213 partisipan dengan rentang usia 18-35 tahun (69,9% mahasiswa, 24,4% pekerja). Mayoritas partisipan adalah perempuan (86,9%) dan selebihnya adalah laki-laki (13,1%). Partisipan tersebut berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti DIY (53,5%), Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan beberapa kota di luar Jawa seperti Palembang dan Jambi. 46% partisipan tinggal bersama keluarga kandung lengkap, 33,3% partisipan hidup sendiri, dan 20,7% partisipan bertempat tinggal bersama keluarga yang tidak lengkap. 

Survei menunjukkan bahwa 47% partisipan menilai diri mereka tidak siap menikah, hanya 23,4% partisipan yang merasa siap menikah, dan 29,6% di antaranya tidak tahu apakah mereka siap menikah atau tidak. Adanya perasaan tidak siap menikah pada generasi muda bukan tanpa alasan. Ada berbagai kondisi yang membuat mereka menilai diri mereka tidak siap untuk menikah. Alasan pertama adalah karena 78% partisipan memang belum mempersiapkan pernikahan secara khusus, misalkan dengan mengikuti kelas pranikah. Alasan lainnya adalah karena adanya rasa kekhawatiran untuk menikah yang belum teratasi dengan baik.

Berdasarkan hasil survei, ada beberapa kondisi yang dapat menjadi sumber kekhawatiran generasi muda terhadap pernikahan. Sumber kekhawatiran tersebut dapat berasal dari dalam diri sendiri (misalkan ketidaksiapan untuk bertanggung jawab) maupun luar diri sendiri (misalkan berkaitan dengan kondisi pasangan). Apa saja sumber rasa khawatir generasi muda terhadap pernikahan?

  1. Kondisi finansial (21,1%)
    Kekhawatiran generasi muda untuk menikah paling banyak dilatarbelakangi oleh kondisi finansial mereka. Bagaimana tidak? Apabila kita melihat lini masa kehidupan generasi muda saat ini, kebanyakan dari mereka baru bisa mulai mencari penghasilan tetap secara mandiri setelah menyelesaikan pendidikan formal (S1 sederajat, di rentang usia 20-25 tahun). Saat lulus dari kuliah pun, tidak setiap dari mereka dapat langsung mendapatkan pekerjaan tetap karena persaingan lapangan kerja begitu ketat. Saat telah mendapatkan pekerjaan, mereka juga masih harus berjuang untuk dapat hidup secara layak dan mempersiapkan tabungan untuk masa depan mereka, di tengah sengitnya persaingan industri dan tawaran gaya hidup yang materialis. Pernikahan dianggap sebagai suatu kondisi yang membutuhkan modal besar agar dapat merasa aman secara materi, sehingga ketika pendapatan finansial mereka belum dianggap ‘banyak’, maka generasi muda cenderung menilai diri mereka belum siap untuk menikah.
  1. Ketidakpercayaan diri untuk menikah (15,9%)
    Salah satu alasan generasi muda merasa tidak siap menikah juga karena mereka merasa tidak percaya diri bahwa mereka bisa untuk menjalani pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai suatu kondisi yang sulit untuk dijalani, dan ketika melihat kembali ke dalam diri, mereka juga cenderung merasa tidak yakin bahwa mereka akan dapat melalui setiap kesulitan dan permasalahan yang mungkin akan ditemui dalam pernikahan. Meskipun usia mereka sudah tergolong dewasa, pendidikan yang ditempuh juga tinggi, namun tetap ada perasaan tidak cukup percaya diri untuk menikah yang dirasakan oleh generasi muda. 
  1. Pengalaman buruk dari pernikahan (15,6%)
    Tidak ada keluarga yang sempurna, dan dalam ketidaksempurnaan keluarga tersebut, terkadang memberikan dampak buruk pada pandangan generasi muda terhadap pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai suatu kondisi yang identik dengan permasalahan, terutama pada anak yang biasa menyaksikan konflik pada orang tuanya. Ketika orang tua berkonflik tanpa adanya penyelesaian dengan baik, maka kondisi tersebut dapat mempengaruhi pandangan anak terhadap makna pernikahan. Selain itu, tidak hanya dengan menyaksikan pengalaman buruk dari keluarga sendiri, saat ini generasi muda juga memiliki akses yang begitu mudah untuk mendapatkan informasi tentang pengalaman buruk berkeluarga dari orang lain melalui media sosial. Kondisi-kondisi itulah yang berpengaruh besar bagi generasi muda dalam memaknai hubungan keluarga.
  1. Ketidaksiapan bertanggung jawab (12,7%)
    Pernikahan membutuhkan tanggung jawab yang besar dalam menjaga keberlangsungannya, baik berupa tanggung jawab finansial, relasional, hingga spiritual. Generasi muda yang mengkhawatirkan pernikahan pada umumnya cenderung merasa tidak siap untuk menjalani seluruh tanggung jawab dalam pernikahan. Tanggung jawab pernikahan dianggap sebagai beban, misalkan tanggung jawab untuk membina anggota keluarga, mendidik anak, maupun memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan adanya beban tersebut, mereka cenderung menghindari situasi yang akan menjadi beban di masa depan nanti karena itu adalah pilihan yang lebih mudah dilakukan dibanding menempa diri untuk menjadi orang yang lebih siap mengemban tanggung jawab tersebut.
  1. Terikat dengan pasangan (12,4%)
    Keterikatan dengan pasangan juga dianggap sebagai suatu kondisi yang tidak nyaman bagi generasi muda. Pernikahan dianggap sebagai suatu keadaan di mana mereka akan ‘kehilangan’ kebebasan yang mereka miliki sebelum menikah, misalkan kebebasan untuk hidup sendiri, melanjutkan studi, dan memilih karir, terlebih bila pasangan mereka adalah orang yang dianggap ‘mengekang’ dan tidak mendukung mereka. Mereka cenderung merasa sulit untuk berkomitmen seumur hidup dalam menjalani pernikahan bersama pasangannya.
  1. Keterbatasan edukasi pranikah (11,5%)
    Edukasi pranikah sudah mulai digencarkan, namun tak dapat dipungkiri bahwa belum seluruh generasi muda benar-benar memiliki kesadaran untuk mengikutinya. Berbagai kekhawatiran dan kebingungan terkait pernikahan yang semestinya dapat mereka diskusikan dan atasi melalui kelas-kelas pranikah tersebut akhirnya tidak terselesaikan dengan baik. Sehingga, kekhawatiran generasi muda untuk menikah tetap ada dalam bentuk keraguan dan tidak kunjung menemukan solusi atas keraguan tersebut.
  1. Ketidaksiapan seksual (10,8%)
    Keterbatasan informasi yang terpercaya tentang kesiapan seksual juga menjadi salah satu alasan yang membuat generasi muda merasa tidak siap untuk menikah. Selama ini, pengetahuan tentang kesiapan seksual yang seharusnya diberikan dalam keluarga juga belum benar-benar diberikan. Alhasil, banyak anak yang mencari informasi di luar sepengetahuan keluarga, dan informasi yang didapatkan juga tidak selalu jelas dan benar. Kondisi tersebut bukannya meningkatkan kesiapan seksual generasi muda, namun justru membuat mereka semakin bingung.

Apakah ada perbedaan sumber rasa khawatir menikah pada laki-laki dan perempuan? Dari survei tersebut pula, ada kemiripan sumber rasa khawatir terhadap pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja, responden laki-laki cenderung memiliki kekhawatiran lebih dalam hal ketidaksiapan bertanggung jawab, sedangkan responden perempuan cenderung mengkhawatirkan apakah mereka telah memiliki kesiapan psikologis yang memadai dalam pernikahan.

Berdasarkan survei tersebut, apakah berarti bahwa generasi muda saat ini tidak siap untuk menikah? Tunggu dulu, data tersebut berbicara tentang bagaimana generasi muda ‘menilai’ kesiapan diri mereka untuk menjalani pernikahan. Penilaian tersebut bisa saja tepat, namun juga bisa kurang menggambarkan kondisi kesiapan mereka. Sehingga, survei tersebut juga dilengkapi dengan survei sejauh mana kesiapan berkeluarga pada generasi muda berdasarkan tolok ukur kesiapan berkeluarga dari Sunarti (2020). Terdapat lima indikator dari kesiapan berkeluarga, yakni berupa kematangan mental-intelektual, kematangan sosial, kematangan emosi, kematangan moral spiritual, dan keterampilan hidup berkeluarga. 

Berdasarkan hasil survei kesiapan berkeluarga, sekitar 50 – 75% responden menunjukkan kesiapan berkeluarga yang tergolong tinggi, yang berarti bahwa sebenarnya mereka menunjukkan kondisi kesiapan untuk menikah, dalam hal kesiapan mental-intelektual, sosial, emosi, moral spiritual, dan keterampilan hidup. Apabila dipadukan dengan hasil survei sebelumnya, maka kita dapat melihat bahwa terdapat jarak (gap) antara kondisi kesiapan menikah generasi muda dengan penilaian generasi muda terhadap kesiapan menikah dirinya. Kondisi ini akan memunculkan suatu pernyataan menarik terkait dengan kesiapan menikah pada generasi muda, yakni “Mengapa para generasi muda menilai bahwa mereka tidak siap menikah ketika sebenarnya mereka telah menunjukkan kondisi kesiapan menikah yang cukup?”

Studi-studi selanjutnya perlu menelaah pertanyaan tersebut untuk memahami apa yang sebenarnya dialami oleh para generasi muda terkait dengan kesiapan menikah. Namun satu hal yang dapat direfleksikan bersama melalui hasil survei tersebut, yakni bahwa terdapat ketidakselarasan antara pemahaman generasi muda tentang sejauh mana kesiapan menikah mereka dengan keadaan diri mereka sesungguhnya dalam hal kesiapan menikah. Berdasarkan refleksi ini, maka kita dapat memahami bahwa permasalahan yang sebenarnya sedang dihadapi oleh generasi muda adalah dalam hal ‘pengenalan diri’ sendiri.

Pengenalan diri merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap orang agar penilaian terhadap diri dapat sesuai dengan kondisi diri sesungguhnya. Saat seseorang mampu mengenal dirinya dengan baik, maka ia akan memahami bagaimana kondisinya sebenarnya, apa potensinya, serta apa yang perlu ia kembangkan lebih lanjut dari dirinya. Begitu pula dalam hal kesiapan menikah, maka generasi muda perlu memahami bagaimana kondisi kesiapan menikah mereka sesungguhnya, bukan hanya berdasarkan perasaan khawatir yang dirasakan berkaitan dengan pernikahan. 

Dengan demikian, maka survei ini dapat memberikan saran terhadap program-program pendidikan dan persiapan pernikahan, yakni pentingnya menyediakan pendidikan yang membantu generasi muda untuk semakin mengenali dirinya. Proses persiapan pranikah menjadi tidak hanya terbatas pada pemberian informasi terkait kehidupan pernikahan, melainkan juga memfasilitasi generasi muda untuk merefleksikan tentang dirinya.

Maka, bila dikembalikan pada judul artikel ini tentang, “Apakah generasi muda Indonesia darurat kesiapan menikah?”, bisa jadi jawabannya bukanlah generasi muda kita tidak siap menikah, melainkan mereka mengalami kesulitan dalam memahami dirinya berkaitan dengan apakah sebenarnya mereka siap untuk menikah dan cenderung ‘merasa’ tidak siap untuk menikah. 

Tim Peneliti:
1. Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
2. Reni Ramadhina
3. Syaharani Cintya Dewi

Tim Penulis:
1. Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
2. Nur Amalia Fitri
3. Akbar Nursidik
4. Angga Adi Permana