Indonesia tengah mengalami angka perceraian yang cukup tinggi, dan menunjukkan peningkatan angka perceraian pada tahun 2017-2021 sebesar 53% (databoks.katadata.co.id). Penyebab perceraian mayoritas disebabkan oleh adanya konflik yang tidak menemui jalan keluar. Perihal perceraian ini, pemerintah berupaya mengurangi angka perceraian dengan membuat kebijakan perlunya dilakukan kursus untuk catin (calon pengantin) sebelum menikah sebagai usaha prevensi terhadap kasus perceraian. Peraturan ini disempurnakan dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/542 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Adanya kebijakan tersebut menunjukkan salah satu bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesiapan menikah pada generasi muda.
Memangnya, bagaimanakah kondisi sebenarnya dari kesiapan menikah pada generasi muda Indonesia? Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia (LAKI) telah mengadakan survei pada tahun 2022 yang bertujuan untuk melihat kesiapan menikah pada generasi muda. Survei tersebut diisi oleh 213 partisipan dengan rentang usia 18-35 tahun (69,9% mahasiswa, 24,4% pekerja). Mayoritas partisipan adalah perempuan (86,9%) dan selebihnya adalah laki-laki (13,1%). Partisipan tersebut berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti DIY (53,5%), Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan beberapa kota di luar Jawa seperti Palembang dan Jambi. 46% partisipan tinggal bersama keluarga kandung lengkap, 33,3% partisipan hidup sendiri, dan 20,7% partisipan bertempat tinggal bersama keluarga yang tidak lengkap.
Survei menunjukkan bahwa 47% partisipan menilai diri mereka tidak siap menikah, hanya 23,4% partisipan yang merasa siap menikah, dan 29,6% di antaranya tidak tahu apakah mereka siap menikah atau tidak. Adanya perasaan tidak siap menikah pada generasi muda bukan tanpa alasan. Ada berbagai kondisi yang membuat mereka menilai diri mereka tidak siap untuk menikah. Alasan pertama adalah karena 78% partisipan memang belum mempersiapkan pernikahan secara khusus, misalkan dengan mengikuti kelas pranikah. Alasan lainnya adalah karena adanya rasa kekhawatiran untuk menikah yang belum teratasi dengan baik.
Berdasarkan hasil survei, ada beberapa kondisi yang dapat menjadi sumber kekhawatiran generasi muda terhadap pernikahan. Sumber kekhawatiran tersebut dapat berasal dari dalam diri sendiri (misalkan ketidaksiapan untuk bertanggung jawab) maupun luar diri sendiri (misalkan berkaitan dengan kondisi pasangan). Apa saja sumber rasa khawatir generasi muda terhadap pernikahan?
Apakah ada perbedaan sumber rasa khawatir menikah pada laki-laki dan perempuan? Dari survei tersebut pula, ada kemiripan sumber rasa khawatir terhadap pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja, responden laki-laki cenderung memiliki kekhawatiran lebih dalam hal ketidaksiapan bertanggung jawab, sedangkan responden perempuan cenderung mengkhawatirkan apakah mereka telah memiliki kesiapan psikologis yang memadai dalam pernikahan.
Berdasarkan survei tersebut, apakah berarti bahwa generasi muda saat ini tidak siap untuk menikah? Tunggu dulu, data tersebut berbicara tentang bagaimana generasi muda ‘menilai’ kesiapan diri mereka untuk menjalani pernikahan. Penilaian tersebut bisa saja tepat, namun juga bisa kurang menggambarkan kondisi kesiapan mereka. Sehingga, survei tersebut juga dilengkapi dengan survei sejauh mana kesiapan berkeluarga pada generasi muda berdasarkan tolok ukur kesiapan berkeluarga dari Sunarti (2020). Terdapat lima indikator dari kesiapan berkeluarga, yakni berupa kematangan mental-intelektual, kematangan sosial, kematangan emosi, kematangan moral spiritual, dan keterampilan hidup berkeluarga.
Berdasarkan hasil survei kesiapan berkeluarga, sekitar 50 – 75% responden menunjukkan kesiapan berkeluarga yang tergolong tinggi, yang berarti bahwa sebenarnya mereka menunjukkan kondisi kesiapan untuk menikah, dalam hal kesiapan mental-intelektual, sosial, emosi, moral spiritual, dan keterampilan hidup. Apabila dipadukan dengan hasil survei sebelumnya, maka kita dapat melihat bahwa terdapat jarak (gap) antara kondisi kesiapan menikah generasi muda dengan penilaian generasi muda terhadap kesiapan menikah dirinya. Kondisi ini akan memunculkan suatu pernyataan menarik terkait dengan kesiapan menikah pada generasi muda, yakni “Mengapa para generasi muda menilai bahwa mereka tidak siap menikah ketika sebenarnya mereka telah menunjukkan kondisi kesiapan menikah yang cukup?”
Studi-studi selanjutnya perlu menelaah pertanyaan tersebut untuk memahami apa yang sebenarnya dialami oleh para generasi muda terkait dengan kesiapan menikah. Namun satu hal yang dapat direfleksikan bersama melalui hasil survei tersebut, yakni bahwa terdapat ketidakselarasan antara pemahaman generasi muda tentang sejauh mana kesiapan menikah mereka dengan keadaan diri mereka sesungguhnya dalam hal kesiapan menikah. Berdasarkan refleksi ini, maka kita dapat memahami bahwa permasalahan yang sebenarnya sedang dihadapi oleh generasi muda adalah dalam hal ‘pengenalan diri’ sendiri.
Pengenalan diri merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap orang agar penilaian terhadap diri dapat sesuai dengan kondisi diri sesungguhnya. Saat seseorang mampu mengenal dirinya dengan baik, maka ia akan memahami bagaimana kondisinya sebenarnya, apa potensinya, serta apa yang perlu ia kembangkan lebih lanjut dari dirinya. Begitu pula dalam hal kesiapan menikah, maka generasi muda perlu memahami bagaimana kondisi kesiapan menikah mereka sesungguhnya, bukan hanya berdasarkan perasaan khawatir yang dirasakan berkaitan dengan pernikahan.
Dengan demikian, maka survei ini dapat memberikan saran terhadap program-program pendidikan dan persiapan pernikahan, yakni pentingnya menyediakan pendidikan yang membantu generasi muda untuk semakin mengenali dirinya. Proses persiapan pranikah menjadi tidak hanya terbatas pada pemberian informasi terkait kehidupan pernikahan, melainkan juga memfasilitasi generasi muda untuk merefleksikan tentang dirinya.
Maka, bila dikembalikan pada judul artikel ini tentang, “Apakah generasi muda Indonesia darurat kesiapan menikah?”, bisa jadi jawabannya bukanlah generasi muda kita tidak siap menikah, melainkan mereka mengalami kesulitan dalam memahami dirinya berkaitan dengan apakah sebenarnya mereka siap untuk menikah dan cenderung ‘merasa’ tidak siap untuk menikah.
Tim Peneliti:
1. Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
2. Reni Ramadhina
3. Syaharani Cintya Dewi
Tim Penulis:
1. Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
2. Nur Amalia Fitri
3. Akbar Nursidik
4. Angga Adi Permana
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved