Menuju Peradaban Indonesia yang Tinggi dan Mulia

Helicopter Parenting: Apa pengaruhnya untuk anak?

November 16, 2022


“How to begin to educate a child. First rule: leave him alone. Second rule: leave him alone. Third rule: leave him alone. That is the whole beginning.” — D.H. Lawrence

Apakah Anda selalu memastikan anak Anda berada di jangkauan Anda? Apakah Anda sangat memperhatikan setiap detail kehidupan anak Anda dan berlari menyelamatkannya untuk mencegah apa pun menyakiti anak anda, baik secara fisik maupun psikologis? Hal tersebut memang terlihat normal dilakukan oleh orang tua. Lalu, bagaimana kalau hal tersebut dilakukan secara berlebihan?

Gaya pengasuhan ketika orang tua terlibat dengan seluruh kehidupan anak dengan cara mengontrol, melindungi, dan menyempurnakan kehidupan anaknya secara berlebihan disebut dengan Helicopter Parenting. Istilah lain yang digunakan adalah overparenting, intensive parenting, intensive support, atau intrusive parental involvement. Orang tua yang mengadaptasi gaya pengasuhan ini akan memberikan anaknya kehangatan dan dukungan yang tinggi dan di saat yang bersamaan memberikan kontrol yang tinggi pada anak dengan otonomi yang rendah. Berikut ini adalah beberapa contoh dari Helicopter Parenting yang diberikan oleh Van Hanswijck de Jonge.

1. Orang tua mencegah anak untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kemampuannya. Misalnya, ketika anak memanjat kursi, orang tua langsung mencegahnya dan menyuruh mereka untuk tidak melakukannya;

2. Orang tua mengawasi dan mengontrol tugas akademik anak dan memberikan bantuan yang tidak sesuai untuk pekerjaan rumah dan proyek sekolah anak;

3. Orang tua melindungi anak dari kegagalan. Jika anak gagal, maka orang tua akan berusaha untuk mengubahnya;

4. Orang tua mempengaruhi anak untuk bekerja sesuai dengan ambisinya;

5. Orang tua melakukan atau terlalu terlibat dalam tugas akademik anak;

6. Orang tua memegang tanggung jawab untuk semua pekerjaan rumah anak, seperti mencuci piring, dan lainnya;

7. Orang tua tidak mengizinkan anak untuk mengatasi masalahnya sendiri;

8. Orang tua tidak mengizinkan anak untuk membuat pilihan yang sesuai dengan usia mereka;

9. Orang tua melakukan apapun yang seharusnya bisa dilakukan oleh anak itu sendiri;

10. Orang tua menegosiasikan masalah anaknya.

Ketika melihat ciri-ciri di atas, mungkin terlihat normal. Akan tetapi, orang tua harus melihat batasan sejauh mana keterlibatan itu dapat dilakukan. Misalnya, ketika anak kesulitan mengerjakan tugas sekolahnya, anak akan datang kepada orang tua untuk meminta bantuan. Secara naluriah, orang tua akan menawarkan bantuan kepada anak dan hal itu wajar untuk dilakukan. Ini akan berbeda jika anak mengerjakan pekerjaan rumah mereka dan orang tua secara konsisten memeriksa dan memantau apa yang mereka lakukan.

Konsekuensinya apa?

Dalam jangka pendek, gaya pengasuhan ini memang sangat membantu. Orang tua akan membantu anak-anak mereka mengerjakan tugas-tugas sekolahnya, menyelamatkan mereka dari hukuman di sekolahnya dengan mengantarkan baju olahraganya, dan memastikan segala sesuatunya berjalan dengan sempurna. Hal tersebut membuat beberapa anak menjadi sedikit lebih kompetitif. Tentu saja, siapa pun yang mendapatkan dukungan seperti itu cenderung unggul dibandingkan dengan yang lain. Gaya pengasuhan ini, walaupun dilakukan dengan tulus, akan memiliki konsekuensi jangka panjang pada perkembangan anak di masa depan. Berikut ini dampak dari Helicopter Parenting.

  1. Memiliki regulasi diri yang rendah

Seseorang yang sudah dewasa seharusnya dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya, mulai dari membuat keputusan mandiri tanpa adanya campur tangan orang tua hingga independen secara finansial. Akan tetapi, individu yang tumbuh dengan gaya asuh ini berada di posisi yang tidak pasti mengenai status anak sebagai orang dewasa. Misalnya, kebanyakan individu dengan rentang umur 18-25 tahun dan orang tua mereka tidak melihat mereka sebagai orang dewasa yang membuat orang tua merasa anaknya masih membutuhkan mereka dan ingin untuk membantu anak mereka. Hal ini membuat individu tersebut tidak terbiasa mengatur hidupnya sendiri tanpa campur tangan orang lain dan cenderung kesulitan untuk menentukan tujuan hidupnya.

Orang tua yang terus-menerus membuat keputusan dan menyelesaikan masalah anak mereka dapat membatasi kesempatan anak untuk berlatih dan mengimplementasikan kemampuan yang sangat dibutuhkan nantinya dan pada akhirnya menjadi pribadi yang mandiri. Studi yang dilakukan oleh Barker juga menyatakan bahwa individu yang tumbuh dengan Helicopter Parenting cenderung tidak memiliki kontrol mental dan motivasi yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuannya.

  1. Memiliki regulasi emosi yang rendah

Individu dengan Helicopter Parenting terbiasa dengan orang tua yang mengurus setiap kebutuhan, tanggung jawab, atau masalah mereka. Ketika mereka sedih, orang tua akan menghibur mereka. Ketika mereka marah, orang tua akan menenangkan mereka. Mereka tumbuh tanpa belajar cara meregulasi emosi yang sehat, cenderung tidak bisa mengatur emosi mereka tanpa bantuan orang tua, dan memiliki kepuasan hidup yang rendah.

  1. Masalah kesehatan mental

Helicopter Parenting secara negatif mempengaruhi kesehatan mental anak. Mereka akan selalu membutuhkan orang lain dan merasa tidak percaya diri untuk mengambil keputusan. Orang tua yang selalu menjaga mereka dari kegagalan membuat mereka takut untuk mengalami kegagalan dan mengecewakan orang lain. Rendahnya kepercayaan diri dan ketakutan akan kegagalan dapat menyebabkan depresi dan kecemasan. Studi juga menunjukkan bahwa Helicopter Parenting dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan depresi individu.

Apa yang menyebabkan Helicopter Parenting Terjadi?

Helicopter Parenting biasanya dihubungkan dengan dampak negatif pada masa depan anak. Lalu, mengapa orang tua masih melakukan hal tersebut? Rousseau & Scharf menjelaskan alasan mengapa orang tua melakukan Helicopter Parenting.

1. Mereka adalah seseorang yang cenderung menghindari kegagalan dan kekecewaan. Mereka melihat kesulitan dan pengalaman negatif sebagai tanda kurangnya keterampilan yang mereka miliki alih-alih sebagai kesempatan untuk mempelajari sesuatu dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik (preventive-focus). Individu ini menggunakan Helicopter Parenting untuk memastikan anaknya tidak akan mengalami kegagalan dan kekecewaan.

2. Mereka adalah seseorang yang cenderung menekankan pada pencapaian dan kemajuan, serta melihat kegagalan sebagai bagian penting dari kehidupan yang dapat digunakan untuk belajar dari kegagalan tersebut. Individu ini bersedia untuk mengambil risiko dan memecahkan masalah ketika terjadi kesalahan dalam hidupnya (promotive-focus). Oleh karena itu, individu ini cenderung melakukan Helicopter Parenting karena merasa ada beban untuk memecahkan dan menegosiasikan masalah yang sedang dihadapi anaknya.

3. Mereka masih memiliki penyesalan dalam hidup mereka. Hal ini terutama terjadi kepada seorang ibu. Seorang ibu akan cenderung melakukan Helicopter Parenting apabila ia memiliki pemikiran bahwa kehidupan anaknya akan berjalan dengan lebih baik jika mereka memiliki pilihan hidup yang berbeda dengan apa yang mereka pilih saat masih muda.

Orang tua memang berniat untuk membantu kesuksesan anaknya. Namun, orang tua juga harus berhati-hati karena keterlibatan yang awalnya untuk mendukung anak dapat dilihat sebagai hal yang terlalu mengontrol dan menghambat pengalaman belajar anak.

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menghindarinya?

  1. Berhenti membantu anak

Jangan biasakan untuk terlalu terlibat dalam aktivitas anak. Misalnya, membiasakan memakaikan baju anak, mengikatkan tali sepatu, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada anak padahal ia bisa melakukannya sendiri. Biarkan anak membuat keputusan dan berikan mereka waktu untuk memikirkan keputusan yang tepat. Orang tua dapat memberikan bantuan ketika anak memang belum dapat melakukannya sendiri dan meminta bantuan kepada orang tua.

  1. Biarkan mereka belajar dari pengalaman mereka sendiri

Terkadang, orang tua ingin membagikan seluruh pengetahuan yang dimiliki kepada anak-anaknya dengan menceritakan apa yang mereka alami. Tapi, faktanya tidak semudah itu. Biarkan mereka merasakan dan belajar dari pengalaman mereka sendiri, termasuk pengalaman yang tidak menyenangkan sekalipun.

  1. Berhenti menyelesaikan masalah anak

Tugas orang tua bukan menyelesaikan masalah anak, akan tetapi mendampingi dan membantu anak untuk menyelesaikannya. Kondisikan anak untuk menemukan mekanisme koping yang sesuai untuk mereka alih-alih menunggu orang tua (atau orang lain) memecahkan masalah mereka.

  1. 4. Selalu pikirkan tujuan masa depan, bukan saat ini

Jika tujuan orang tua untuk anak di masa depan adalah untuk membuat mereka dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, maka yang dapat orang tua lakukan adalah menyarankan beberapa alternatif jawaban atau dorong mereka untuk mencari jawaban dari permasalahan tersebut. Coba pikirkan apa yang Anda ingin anak Anda capai dan apakah mereka dapat mencapainya dengan keterlibatan Anda?

Membiarkan anak menghadapi kegagalan dan memberikan mereka kesempatan untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi sendiri memang sulit dan juga membutuhkan orang tua yang kuat secara mental. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk melatih kekuatan mentalnya sendiri, sehingga dapat membantu sang buah hati untuk mengembangkan keterampilan yang mereka butuhkan sebagai individu yang sehat, baik secara fisik maupun mental, dan bertanggung jawab.

Penulis: Octiva Fairuz Izdihar Kusharyanti

Penyunting: Nadia Eka Rahmayanti

Referensi

Barker, J. E., Semenov, A. D., Michaelson, L., Provan, L. S., Snyder, H. R., & Munakata, Y. (2014). Less-structured time in children’s daily lives predicts self-directed executive functioning. Frontiers in psychology, 5, 593. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2014.00593

Cui, M., Darling, C.A., Coccia, C., Fincham, F.D., & May, R.W. (2019). Indulgent parenting, helicopter parenting, and well-being of parents and emerging adults. Journal of Child and Family Studies, 28, 260-871. https://doi.org/10.1007/s10826-018-01314-3

Nelson, L.J., & Barry, C.M. (2005). Distinguishing features of emerging adulthood: the role of self-classification as an adult. Journal of Adolescent Research, 20, 242-262. https://psycnet.apa.org/doi/10.1177/0743558404273074

Padilla-Walker, L.M., & Nelson, L.J. (2012). Black hawk down?: Establishing helicopter parenting as distinct construct from other forms of parental control during emerging adulthood. Journal of Adolescence, 35 (5), 1177-1190. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2012.03.007

Rousseau, S., & Scharf, M. (2018). Why people helicopter parent? An actor–partner interdependence study of maternal and paternal prevention/promotion focus and interpersonal/self-regret. Journal of Social and Personal Relationships, 35(7), 919–935. https://doi.org/10.1177/0265407517700514

Schiffrin, H.H., Liss, M., Miles-McLean, H. Geary, K.A., Erchull, M.J., & Tashner, T. (2014). Helping or Hovering? The Effects of Helicopter Parenting on College Students’ Well-Being. Journal of Child and Family Studies, 23, 548–557. https://doi.org/10.1007/s10826-013-9716-3

Van Hanswijck de Jonge, L. (2018). Helicopter Parenting: The consequences. International School Parent.  https://www.internationalschoolparent.com/articles/helicopter-parenting-the-consequences/

Vigdal, J.S., & Bronnick, K.K. (2022). A systematic review of “helicopter parenting” and its relationship with anxiety and depression. Frontiers in Psychology, 13, 1664-1078. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.872981