Menuju Peradaban Indonesia yang Tinggi dan Mulia

Kebebasan yang Salah Kaprah

September 30, 2022


Bagus Riyono (Republika, 15 September 2016)

Dosen Fakultas Psikologi UGM
Anggota Dewan Pakar API
Aktivis Gerakan #IndonesiaBeradab

Saat ini sedang berlangsung Judicial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal KUHP yang terkait dengan tindakan a susila zina, atau hubungan sex di luar nikah. Pemohon adalah 12 ibu-ibu dari kalangan intelektual dan aktivis pencinta keluarga. Permohonan JR ini adalah sesuatu yang wajar mengingat KUHP adalah warisan Belanda yang tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan nilai-nilai ke-Indonesia-an.

Yang menarik dari fenomena ini adalah adanya kelompok yang tidak setuju dan bahkan menentang usaha kelompok pencinta keluarga ini. Kelompok penentang menuduh para pemohon adalah kelompok “ekstrim” yang dianggap “lebih berbahaya dari FPI” dan anti “kebebasan”. Apa hubungan antara usaha JR ini dengan “kebebasan”? Bahkan Julia Suryakusuma di kolom opini The Jakarta Post menyebut mereka sebagai anti “demokrasi” dan anti “Islam”. Bagaimana kita bisa memahami logika para penentang ini? Apakah “kebebasan” itu? Apa itu “demokrasi”? dan apa yang dimaksud dengan “Islam”?

Kebebasan

Dalam dokumen Universal Declaration of Human Rights, Artikel 1, tertulis: “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” Artinya bahwa semua manusia lahir dalam keadaan bebas, dan setara dalam hal kehormatan dan haknya. Di samping itu manusia memiliki akal sehat dan hati nurani yang seharusnya digunakan untuk memahami dan membimbing perilakunya supaya dapat memperlakukan sesamanya dengan semangat persaudaraan.

Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa kebebasan adalah sesuatu yang dimiliki semua manusia sejak lahir. Kebebasan adalah sebuah sifat dasar manusia yang merupakan fitrah bagi semua manusia. Dengan kebebasannya itu manusia bisa melakukan pilihan-pilihan dalam hidupnya. Namun demikian, manusia juga memiliki kehormatan dan hak yang tentunya akan menjadi koridor baginya untuk mengarahkan kebebasannya dalam memilih segala perilaku dalam hidupnya. Manusia sehat tentu akan memilih sesuatu yang dapat menjaga kehormatan dan haknya. Untuk memastikan bahwa pilihannya tepat maka manusia yang sehat akan menggunakan akal sehat dan hati nuraninya sehingga dia akan memperlakukan orang lain dengan hormat pula.

Bisakah seorang manusia anti kebebasan? Bagaimana mungkin ia anti kebebasan. Bukankah kebebasan itu sifat dasarnya yang memungkinkan dia untuk bersikap dan bertindak? Jadi pernyataan bahwa seseorang itu “anti kebebasan” adalah sebuah pernyataan yang tidak logis. Tidak masuk di akal. Lalu apa yang ingin dikatakan oleh para penentang JR itu sesungguhnya? Apa yang sesungguhnya mereka maksudkan di balik kata “kebebasan” itu?

Kebebasan sebagai sebuah istilah mengalami pembelokan makna karena pengaruh nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu. Pada masyarakat Barat, kata kebebasan dimaknai sebagai sesuatu yang mereka sukai. Kebebasan mereka maknai sebagai kebolehan untuk melakukan apa saja yang mereka sukai. Hal ini karena pengaruh nilai-nilai hedonistik yang sifatnya “here and now” (saat ini dan di sini), sebuah perspektif ruang dan waktu yang sempit dan individualistik.

Sementara itu dalam perspektif masyarakat Indonesia yang memiliki nilai-nilai Pancasila, kebebasan memiliki makna sebagai kondisi yang bersih dan suci sehingga kita tidak terhalang untuk bertemu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah makna kebebasan yang memiliki perspektif jangka panjang dan spiritual. Usaha untuk merevisi KUHP dalam JR ini adalah bentuk dari usaha untuk menjaga kehormatan Bangsa Indonesia agar tercegah dari perbuatan a susila yang akan mengotori kebebasannya.

Para pemohon JR adalah justru kelompok pro kebebasan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sedangkan para penentangnya adalah kelompok yang menginginkan “kebebasan” menurut nilai-nilai hedonistik dan individualistik yang bertentangan dengan Pancasila. Ketika seseorang menginginkan kebebasan dalam arti agar dibolehkan untuk melakukan apa saja yang mereka sukai, maka dasar pertimbangan mereka bukan lagi akal sehat atau hati nurani melainkan hawa nafsu. Ketika hawa nafsu sudah menguasai seseorang maka logika berpikirnya menjadi rancu. Itulah sebabnya mengapa muncul tuduhan bahwa para pemohon JR adalah “anti demokrasi” dan “anti Islam”.

Demokrasi

Demokrasi menurut definisi Oxford Dictionary adalah: “A system of government by the whole population or all the eligible members of a state, typically through elected representatives”. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan atau pengaturan yang menghargai peran semua orang atau orang-orang yang memenuhi syarat (akal dan nuraninya kuat), sebagai representatif, untuk mengajukan pendapat, sekali lagi tentunya dengan akal sehat dan hati nurani.

Demokrasi dalam Pancasila dirumuskan dalam sila ke empat, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, yang maknanya serupa dengan definisi dari Oxford Dictionary tersebut. Selain itu demokrasi dalam Pancasila ini juga sejalan dengan Universal Declaration of Human Rights, yaitu bahwa manusia dianugerai akal sehat dan hati nurani sehingga seharusnya mengambil keputusan dengan hikmat kebijaksanaan.

Menurut definisi dan pengertian tentang demokrasi tersebut maka apa yang dilakukan para pemohon JR itu adalah sebuah proses demokrasi, yaitu proses pengambilan keputusan dengan mengandalkan akal sehat dan hati nurani yang dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat untuk itu, yaitu para intelektual dan para hakim konstitusi. Tuduhan bahwa mereka “anti demokrasi” dapat berujuang pada tindakan yang anti demokrasi itu sendiri karena menghambat warga masyarakat yang semestinya berhak untuk mengemukakan pendapatnya secara logis.

Dengan demikian maka dapat kita pahami bahwa pandangan Julia Suryakusuma yang menuduh para pemohon JR sebagai “anti demokrasi” adalah pendapat yang rancu karena dasar pertimbangannya adalah hawa nafsu, bukan akal sehat ataupun hati nurani. Indikasi lain tentang kerancuan berpikir ini adalah tuduhan bahwa JR itu “anti Islam”.

Julia Suryakusuma berargumen bahwa para pemohon JR ingin memaksakan hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia dengan mempidanakan perbuatan zina dan homoseksual. Kemudian disampaikan bahwa ada kelompok umat Islam yang tergabung dalam Rumah KitaB yang sedang menyusun sebuah tafsir Al Qur’an yang berpendapat bahwa homoseksual tidak dilarang dalam Al Qur’an. Lalu disimpulkan bahwa kelompok Rumah KitaB adalah representasi Islam, sehingga para pemohon JR disebut sebagai “anti Islam”. Jadi menurut pandangan Julia Suryakusuma Islam adalah kelompok, dan dia memilih kelompok Islam yang sesuai dengan kemauannya yang berhak menyatakan dirinya sebagai “Islam”.

Islam

Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa: “Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk suatu agama. Jalan kebenaran dan kesesatan telah jelas melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengingkari segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berpegang-teguh pada penyebab terkuat untuk tidak terjerumus ke dalam kesesatan…….“ (QS 2 Al Baqarah, ayat 256, Tafsir Al Misbach).

Al Qur’an menjelaskan bahwa Islam bukanlah kelompok namun sebuah pilihan jalan hidup yang tidak terlepas dari akal sehat dan iman (hati nurani). Islam adalah pilihan beragama yang rasional dan spiritual. Kerangka proses berpikir dan pengambilan keputusan dalam Islam sejalan dengan Universal Declaration of Human Rights, Pancasila, dan demokrasi, yaitu didukung oleh akal sehat dan hati nurani dan tidak didasarkan pada hawa nafsu.

Kebebasan yang dimiliki manusia adalah sebuah potensi yang memungkinkan manusia memilih sikap dan perilaku. Sedangkan akal sehat dan hati nurani adalah perangkat yang berfungsi sebagai dasar pertimbangan bagi manusia untuk menggunakan kebebasannya demi menjaga kehormatan dan haknya serta hak orang lain dengan memperlakukan mereka secara terhormat pula. Dengan demikian “kebebasan” yang dimaknai sebagai kebolehan untuk melakukan apa saja yang disukai adalah sebuah pemahaman tentang kebebasan yang salah kaprah.