Oleh: Bagus Riyono
Abstrak
Peradaban berakar kepada sistem nilai yang menjadi Penggerak kehidupan masyarakatnya yang bersifat latent (Talcott Parsons, 1961). Sistem nilai ini tumbuh dan berkembang di dalam keluarga sejak seseorang masih kanak kanak dan akan dikembangkan ketika dia menjalani pendidikan dan mulai terjun ke masyarakat. Sebuah Peradaban yang tinggi dibangun atau terbangun melalui proses panjang minimal 20 tahun. Bahkan menurut Ibnu Khaldun (1377) siklus sebuah peradaban itu adalah 40 tahunan. Keluarga adalah institusi terpenting dalam sebuah peradaban karena keluarga adalah fondasi yang akan menumbuhkan generasi yang akan membangun dan menggerakkan peradaban di masa depan. Jika sebuah bangsa lalai dalam membangun keluarga yang kuat dan mengabaikan institusi keluarga di dalam masyarakatnya, maka bangsa tersebut sedang dalam proses kehancurannya. Salah satu indikator yang krusial dalam perkembangan sebuah peradaban adalah menurun atau meningkatnya populasi. Ukuran populasi ini menjadi penting ketika terdapat peningkatan yang signifikan pada usia-usia produktif. Itulah yang disebut sebagai bonus demografi yang saat ini sedang terjadi pada bangsa Indonesia. Namun demikian, kelompok usia yang lebih menentukan pembangunan peradaban di masa depan adalah usia anak-anak, karena pada usia inilah sistem nilai ditanamkan. Penanaman nilai tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, supaya bonus demografi yang dialami oleh Indonesia ini dapat mewujudkan sebuah peradaban yang tinggi dan mulia, maka penting sekali untuk memikirkan pembangunan keluarga yang kuat sehingga mampu menjadi benih dan fondasi bagi peradaban Indonesia di masa depan. Dalam rangka itu tulisan ini merumuskan arah kebijakan pembangunan keluarga yang didasarkan pada lima dimensi, yaitu spiritual, biologis, psikologis, sosiologis, dan ekonomi. Strategi ini harus dilaksanakan secara holistik dan integratif.
Kata kunci: pembangunan keluarga, peradaban, sistem nilai
Sebuah peradaban yang sering diasosiasikan dengan bangunan bangunan fisik atau teknologi, sebenarnya adalah buah dari suatu dinamika sosial yang sistemik yang terdiri dari empat lapisan menurut Talcott Parsons (1961). Bangunan-bangunan fisik tersebut adalah lapisan terluar dari sebuah peradaban yang secara umum disebut sebagai lapisan ekonomi yang merupakan fungsi adaptasi dari peradaban tersebut. Lapisan ekonomi ini adalah sebuah sistem yang kompleks dan terwujud karena suatu desain yang dibentuk melalui kebijakan yang diambil oleh para pimpinan masyarakat. Dengan kata lain sistem ekonomi adalah produk dari sistem di bawahnya yang merupakan lapisan kedua dalam sebuah peradaban.
Lapisan kedua dalam sebuah peradaban disebut sebagai lapisan sistem politik. Sistem politik pada hakikatnya adalah sebuah sistem pengambilan keputusan yang berfungsi untuk pencapaian tujuan yang di rumuskan bersama oleh wakil-wakil dari masyarakat dalam peradaban tersebut. Setiap masyarakat terdiri dari unsur-unsur atau kelompok-kelompok yang beragam sehingga membutuhkan sebuah sistem kolaborasi yang bisa mengakomodasi keberagaman tersebut dan menyamakan visi yang akan dicapai bersama. Untuk dapat memenuhi kepentingan bersama dari sebuah masyarakat yang beragam maka sistem politik harus didukung oleh tata aturan sebagai landasan bagi pengambilan keputusan. Artinya sebelum sistem politik ini berfungsi maka perlu landasan hukum sebagai batasan-batasan yang memuat prinsip-prinsip dasar tentang keadilan dan keberadaban yang tidak boleh dilanggar. Hal ini penting karena dalam sistem politik akan banyak kepentingan yang menuntut untuk dipenuhi, sehingga jika tidak ada sistem hukum yang membatasinya maka akan terjadi konflik atau kekacauan yang pada akhirnya nanti akan muncul adu kekuatan dan yang akan menang adalah yang kuat.
Lapisan ketiga adalah sistem hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dari masyarakatnya dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan keberadaban. Sistem hukum ini, seperti halnya sistem politik, juga merupakan sebuah keputusan bersama yang harus melibatkan semua komponen dalam masyarakatnya. Keterlibatan semua unsur dari masyarakatnya ini penting, karena sistem hukum itu adalah kesepakatan-kesepakatan yang mendasar dan jangka panjang yang sifatnya umum sehingga bisa dijadikan landasan untuk pengambilan keputusan politik yang lebih bersifat jangka pendek. Sistem politik seharusnya dibangun dengan landasan sistem hukum yang kuat, karena dalam sistem politik bisa terjadi manuver-manuver tertentu untuk melayani kepentingan-kepentingan sepihak dari golongan yang kuat. Jika sistem hukum ini diintervensi oleh sistem politik maka sebuah peradaban akan lemah karena struktur bangunannya tidak akan kokoh. Agar sistem hukum terbangun dengan kokoh maka dia harus dibangun di atas sistem nilai yang bersifat universal dan tak terbantahkan. Sistem nilai ini akan berfungsi sebagai referensi bagi sistem hukum agar terbangun dalam jalur yang benar sehingga terhindar dari manipulasi sistem politik. Sistem nilai ini juga berfungsi sebagai benteng bagi sistem hukum yang bisa membendung kepentingan-kepentingan politik parsial yang hanya akan menguntungkan pihak tertentu. Dengan berdasarkan sistem nilai yang kuat maka sistem hukum tetap akan terjaga integritasnya.
Sistem nilai adalah sesuatu yang bersifat laten namun merupakan unsur terpenting dalam sebuah peradaban karena dia merepresentasikan karakter dasar dari masyarakatnya yang secara intuitif merupakan kesepakatan bersama. Sistem nilai itu sendiri merupakan sebuah bangunan yang berlapis yang mencakup sistem kebudayaan, sistem pendidikan, dan sistem keluarga. Pemahaman tentang nilai-nilai dasar ini dimulai pada saat seorang warga negara masih kanak-kanak melalui pengasuhan orang tuanya. Pada tahapan berikutnya, sistem nilai ini akan berkembang melalui sistem pendidikan ketika anak-anak tersebut mulai sekolah. Pada tahapan ini sudah mulai terjadi risiko perbenturan sistem nilai antara yang diajarkan oleh orang tua dengan yang diajarkan di sekolah. Jika yang diajarkan di sekolah tidak sejalan dengan yang diajarkan oleh orang tua, seorang anak akan mengalami konflik nilai. Konflik nilai ini bisa menyebabkan dua kemungkinan konsekuensi. Ketika sistem keluarga kuat maka anak-anak akan memiliki kepribadian yang kuat dan mampu mempertahankan nilai-nilai tersebut walaupun sistem pendidikannya tidak kondusif. Namun, jika sistem keluarganya tidak kuat maka anak-anak ini akan tumbuh menjadi anak-anak yang durhaka terhadap orang tuanya dan menganggap orang tuanya sudah ketinggalan zaman sehingga sistem nilai yang dianutnya berubah sesuai dengan yang dipelajarinya di sekolah.
Gambar 1
Struktur peradaban menurut Talcott Parsons (1961)
Ketika anak-anak itu mulai dewasa dan terjun di masyarakat, maka mereka akan berinteraksi dengan sistem budaya yang ada dalam masyarakatnya. Sistem budaya ini adalah sebuah sistem yang lebih terbuka dan rentan terhadap pengaruh asing di luar peradaban yang bersangkutan. Seorang warga negara yang sistem nilainya tidak kuat sejak dari keluarganya maka akan mengalami goncangan yang lebih hebat ketika berinteraksi dengan sistem budaya dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan yang didesain oleh pemerintah pun bisa goyah ketika sistem nilai dasar dari warga negara tersebut tidak kuat karena sistem nilai yang terkandung dalam sistem budaya bisa jadi akan berbenturan dengan sistem nilai yang diajarkan dalam proses pendidikan.
Warga negara yang tumbuh dengan sistem nilai yang tidak koheren ini akan menjadi orang tua yang akan mewariskan nilai-nilai yang dianut tersebut pada generasi berikutnya. Oleh karena itu, jika sebuah keluarga lemah maka efeknya akan berantai dan dampak negatifnya akan jangka panjang dan baru terasa beberapa puluh tahun kemudian pada perubahan sosial dalam masyarakatnya. Di samping itu, anak-anak ini juga akan menjadi pengambil keputusan yang akan memengaruhi sistem hukum, sistem politik, serta sistem ekonomi di masa depan. Itulah sebabnya ketika kita merasakan kekacauan di dalam sistem hukum atau sistem politik maupun sistem ekonomi, kita tidak bisa mencari sebabnya pada sistem politik, sistem hukum, maupun sistem ekonomi itu sendiri pada saat ini, namun harus kita lacak pada bagaimana para pemangku jabatan itu tumbuh dalam keluarganya dahulu. Oleh karena itu, ketika kita ingin membangun peradaban yang tinggi dan mulia kita perlu mendesain sebuah projek perubahan jangka panjang karena yang kita lakukan terhadap keluarga saat ini baru akan terasa hasilnya 20-40 tahun ke depan. Dengan kata lain, jika kita sibuk dengan permasalahan ekonomi, politik, maupun hukum saat ini, tapi abai terhadap pembangunan keluarga, maka kita akan berada dalam lingkaran setan dan permasalahan peradaban kita tidak akan kunjung selesai.
Fenomena ini bisa kita lihat buktinya pada negara-negara yang disebut sebagai negara maju, yang saat ini sedang mengalami permasalahan sosial yang sangat akut. Laporan terakhir WHO menyebutkan bahwa depresi adalah penyakit nomor satu di dunia (Yapko, 2018) dan wabah kesepian (loneliness) merebak dalam masyarakat modern, terutama pada negara-negara yang saat ini dikategorikan sebagai negara maju (Barreto dkk., 2021). Sementara itu, populasi mereka secara umum mengalami penurunan yang signifikan dan mulai muncul kekhawatiran akan runtuhnya peradaban mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Inggris adalah negara yang paling maju dalam merespon epidemi kesepian. Pemerintah Inggris pada tahun 2018 mengangkat minister of loneliness, Tracey Crouch. Menurut penelitian, lebih dari sembilan juta orang di Inggris merasakan kesepian, di antaranya 200.000 lansia tidak pernah bercakap-cakap dengan teman atau kerabat selama lebih dari sebulan. Lebih dari 85% pemuda difabel (18-34 tahun) mengalami kesepian. Diperkirakan setengah dari orang berusia di atas 75 tahun di Inggris hidup sendiri tanpa interaksi sosial sama sekali (NDTV, 2018).
Yang terjadi di Berlin, Jerman tidak kalah memprihatinkan. Sebanyak tiga ratus orang per tahun meninggal di apartemen tanpa diketahui bahkan terkadang hingga berminggu-minggu. 59% penduduk Berlin mengalami kesepian, 1 dari 2 penduduknya hidup sendirian. 1 dari 4 remaja melaporkan paling tidak sesekali merasakan kesepian (DW, 2019). Partai yang berkuasa di Jerman, yaitu Christian Democratic Union (CDU) mengusulkan diangkatnya pejabat khusus untuk mengatasi epidemi loneliness seperti halnya di Inggris yang mengangkat menteri kesepian. Pemerintah Jerman telah mengeluarkan dana €100.000 per tahun untuk membiayai projek penanggulangan kesepian ini (DW, 2019).
Banyak yang berpendapat bahwa kesepian terjadi karena jebakan kehidupan modern, seperti halnya media sosial, streaming video, dan video games. Namun, para ahli memperingatkan bahwa penyebab kesepian lebih dalam daripada itu. Penyebab yang lebih mendasar, antara lain tingkat interaksi individu, kesejahteraan fisik dan mental, serta keseimbangan kehidupan. Sebab-sebab ini kemungkinan besar lebih memprediksi loneliness daripada penggunaan media sosial (DW, 2019).
Salah satu unit dari kementrian kesehatan Amerika yang beergerak di bidang pelayanan kesehatan (Health Resources & Services Administration) pada tahun 2019 melaporkan “Loneliness and social isolation” dapat membahayakan kesehatan sama seperti merokok 15 batang per harinya. 2 dari 5 penduduk Amerika melaporkan mereka terkadang atau selalu merasakan hubungan sosialnya tidak bermakna. 1 dari 5 mengatakan merasakan kesepian dan terasing. Terjadi peningkatan sebanyak 10% masyarakat di US yang hidup sendiri. Menurut sensus (US Census Bureau), lebih dari seperempat populasi dan 28% dewasa akhir hidup sendiri. Pemerintah Amerika sudah mengeluarkan $6.7 miliar untuk menanggulangi kesepian pada kelompok dewasa akhir (Health Resources & Services Administration, 2019).
Jepang dewasa ini juga mulai mengalami epidemi kesepian, seperti halnya negara-negara maju yang lain. 1 dari 3 penduduk Jepang hidup sendiri. 15% orang Jepang tidak memiliki kehidupan sosial. Kesepian dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti halnya melajang sepanjang hayat (20% penduduk Jepang saat ini sedang mengalami), perceraian (1 di antara 3 pernikahan berakhir dengan perceraian), menjadi duda/janda, tidak memiliki anak, atau hidup terpisah dari anak-anak, keluarga, dan teman-temannya. Bisa juga karena tidak memiliki teman, terkucil baik dari keluarganya, teman-teman, maupun rekan-rekan kerjanya karena masalah yang tidak jelas. 15% laki-laki tua hidup sendiri dan memiliki kurang dari satu percakapan dalam 2 minggu. Sebanyak 8,4% lelaki tengah baya hidup sendiri (Hoffman, 2018).
The Cigna study menemukan bahwa kesepian akan mengganggu karier seseorang, menyebabkan menurunnya penghasilan dan hilangnya kesempatan untuk promosi. Hal itu disebabkan karena orang-orang kesepian itu akan memiliki masalah ketika berkolaborasi dengan orang lain (DW, 2019). Hal ini bisa menjadi salah satu sebab sulitnya mereka mencari pasangan hidup sehingga kesempatan untuk melahirkan keturunan juga semakin kecil. Dampak yang lebih luas adalah menurunnya populasi pada negara-negara tersebut (European Parliament, 2008). Itulah sebabnya negara-negara tersebut rela mengeluarkan biaya yang besar untuk menyelamatkan peradaban mereka. Jika dicermati lebih jauh, sebab utama dari semua itu adalah karena mereka mengabaikan institusi keluarga dan lebih mengedepankan kemajuan ekonomi yang mengandalkan kontribusi individual (Coleman & Rowthorn, 2011).
Indonesia di sisi lain saat ini justru mengalami peningkatan populasi yang signifikan. Jumlah penduduk Indonesia selama beberapa tahun mendatang akan terus meningkat. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 lalu jumlah populasi Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Kemudian, pada 2024, angkanya berpotensi meningkat hingga 282 juta dan sekitar 317 juta jiwa pada 2045 (Rahman, 2019).
Gambar 2
Indonesia Millennial Report 2019
Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Umur (2018)
Menurut data BPS 2018, jumlah generasi milenial berusia 20-35 tahun mencapai 24 persen, setara dengan 63,4 juta dari 179,1 juta jiwa yang merupakan usia produktif (14-64 tahun) (Rahman, 2019). Fenomena inilah yang disebut dengan bonus demografi. Analisis tentang bonus demografi kebanyakan hanya berorientasi pada lapisan ekonomi dari struktur peradaban, yaitu seperti kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya (Rahman, 2019). Yang mereka sering lupakan adalah bahwa untuk membangun peradaban Indonesia di masa depan, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bagaimana generasi mendatang itu agar memiliki nilai-nilai Ke-Indonesia-an yang kuat sehingga bisa menjadi pilar-pilar peradaban Indonesia yang tinggi dan mulia. Amanah ini akan berada di pundak generasi pascamilenial yang masih hidup pada lingkungan keluarga masing-masing. Jumlah mereka tidak kalah banyak dengan generasi milenial yang sudah siap memasuki dunia kerja dan bergerak di putaran roda ekonomi saat ini (Lihat gambar 2). Dengan pertimbangan tersebut, di samping kita perlu memanfaatkan generasi milenial untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, kita juga perlu menggarap generasi pascamilenial melalui penguatan keluarga-keluarga Indonesia. Inilah yang seharusnya menjadi fokus “project” peradaban Indonesia 20-40 tahun ke depan. Dengan meningkatnya ketahanan keluarga maka akan diharapkan lahirnya generasi emas yang sesungguhnya. Generasi emas yang sesungguhnya ini adalah bukan hanya sekadar generasi pekerja atau generasi yang berkiprah pada lapisan ekonomi, namun adalah generasi yang memiliki nilai-nilai yang kuat sehingga bisa menegakkan peradaban Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Itulah peradaban Indonesia yang dicita-citakan Bapak Bangsa yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945.
Sebelum kita membahas tentang ketahanan keluarga, kita perlu membahas terlebih dahulu apa itu hakikat keluarga dan bagaimana konteks lingkungannya secara sistematik. Keluarga adalah sekumpulan manusia (dua atau lebih) yang memiliki ikatan yang sangat kuat, yang mencakup ikatan spiritual (ibadah), biologis (ke-‘alam-an), psikologis (intrapersonal), sosiologis (interpersonal), dan ekonomi (material). Kelima ikatan ini tidak boleh dipecah-belah atau diceraiberaikan atau dilihat secara parsial. Jika hal itu dilakukan maka institusi keluarga akan hancur berantakan.
Permasalahan yang sering terjadi pada masyarakat adalah pemahaman yang parsial dan cenderung ekstrem. Di kalangan masyarakat yang religius ekstremitas itu mengarah kepada fokus terhadap ikatan spiritual atau “ibadah” (dalam arti sempit) saja sehingga hubungan antaranggota keluarga menjadi kaku. Sementara pada masyarakat ateis atau sekuler fokusnya terutama adalah pada ikatan material atau ekonomi saja. Sedangkan kelompok masyarakat liberal hanya melihatnya sebagai ikatan biologis, itupun biologis yang sifatnya hanya hedonistik saja. Kekeliruan dalam memahami hakikat keluarga inilah akar permasalahan yang terjadi pada institusi keluarga dewasa ini.
Jika kita serius dalam usaha untuk mewujudkan ketahanan keluarga, maka seluruh ikatan tersebut harus kita kuatkan dan kita bangun dengan kokoh. Kelima ikatan tersebut saling kait mengkait secara sistemik dan harus digarap secara bersamaan dengan dinamis. Kita tidak bisa hanya membangun satu per satu tanpa mempertimbangkan ikatan yang lainnya.
Misalnya, kita melihat keluarga tersebut miskin lalu kita membantu secara ekonomi saja lalu kita merasa sudah melakukan sesuatu. Hal itu akan sangat mengecoh karena bantuan ekonomi jika tidak disertai dengan pemaknaan secara ibadah, secara psikologis ataupun secara sosialogis dan bahkan biologis, misalnya kesehatan, maka bantuan tersebut bisa jadi justru akan menciptakan kerentanan dalam keluarga tersebut. Misalnya, bantuan tidak digunakan untuk kesejahteraan bersama, tetapi justru untuk memuaskan hawa nafsu yang hedonistik. Dalam penelitian pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 2019, banyak masyarakat miskin di Asia dan Afrika ketika diberi bantuan ekonomi mereka menggunakannya misalnya untuk membeli televisi, sesuatu yang selama ini mereka tidak pernah mengalami bagaimana rasanya memilikinya (Banerjee & Duflo, 2011).
Kebutuhan ekonomi memang merupakan sesuatu yang paling mudah untuk diidentifikasi dan diintervensi. Namun demikian, kebutuhan ekonomi sebetulnya adalah kebutuhan yang merupakan lapisan terluar dari suatu institusi keluarga dan akan bisa teratasi ketika ikatan-ikatan yang lainnya diperkuat. Misalnya, ketika sebuah keluarga memiliki kelemahan di bidang ekonomi namun mereka sangat solid dalam ikatan sosiologisnya serta kuat dalam ikatan psikologisnya maka mereka akan mampu mencari kesempatan untuk bekerja atau berusaha demi memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Dalam istilah kearifan Jawa disebutkan bahwa “obah mamah”, yang berarti bahwa ketika seseorang itu mau bergerak maka niscaya dia akan bisa makan. Artinya kebutuhan ekonomi itu akan terpenuhi ketika ada niat yang kuat, ada kemauan yang kuat untuk berusaha. Niat dan kemauan ini adalah ikatan psikologis dan bisa juga sosiologis, ketika itu menjadi “shared values” dalam keluarga tersebut. Keluarga tersebut akan lebih kuat lagi jika secara spiritual mereka yakin bahwa Tuhan Maha Pemurah dan akan menjamin rezeki hambanya yang mau berusaha.
Kelima ikatan tersebut merupakan suatu struktur yang hierarkis dan sistemik. Ikatan spiritual adalah ikatan yang paling mendasar yang merupakan janji kepada Tuhan untuk menjalani kehidupan berkeluarga sebagai sebuah ibadah dalam arti yang luas. Ibadah dalam berkeluarga mencakup semua ikatan yang lain, yaitu pertama secara biologis hubungan antara suami dan istri menjadi bermakna ibadah. Padahal sebelum terjadi ijab kabul perilaku tersebut adalah dosa besar atau maksiat yang dikutuk oleh Allah. Perbedaan ini bukan sekadar sesuatu yang bersifat formalitas atau administratif, namun adalah sebuah perubahan status yang terbukti secara ilmiah berpengaruh terhadap dimensi biologis yang lain, yaitu kesehatan dan juga keberlangsungan hidup. Ibadah ini juga secara signifikan berpengaruh kepada dimensi psikologis, yaitu ketentraman jiwa dan kebahagiaan, dan juga dimensi sosiologis akan terpengaruh, yaitu terjadinya proses pendidikan yang sehat di dalam keluarga. Secara ekonomi juga akan lebih lancar dan tercukupi karena Allah menjamin rezeki setiap manusia.
Mereka yang mengingkari ikatan ibadah ini terbukti secara empiris akan mengalami berbagai macam penyakit bukan hanya biologis, namun juga secara psikologis. Mereka akan mengalami kekosongan jiwa. Saat ini masyarakat Eropa dan Amerika mengalami epidemi kesepian (Barreto dkk., 2021). Mereka merasa tidak punya teman dan merasa sendiri dalam keramaian. Sementara itu dampaknya pada suatu bangsa adalah, bangsa tersebut akan mengalami penurunan populasi atau suatu proses menuju kepunahan (European Parliament, 2008).
Gerakan pengingkaran terhadap ikatan ibadah ini saat ini cukup gencar di Indonesia dengan mempropagandakan tentang “sexual consent”. Gerakan ini bahkan sudah membuat rancangan undang-undang yang tak henti-hentinya mereka perjuangkan supaya disahkan oleh DPR, yaitu RUU-PKS. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh pesantren Tebuireng bersama Gerakan Indonesia Beradab, pada tahun 2019, perwakilan dari Komnas perempuan menyatakan bahwa masalah kekerasan seksual bukanlah masalah kesusilaan. Di dalam rancangan undang-undang tersebut mereka juga menolak untuk mencantumkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar pertimbangan.
Gerakan pengingkaran terhadap ikatan ibadah ini adalah ancaman besar terhadap institusi keluarga. Di Amerika sendiri kelompok yang ingin mempertahankan keluarga, Family Watch Interantional (https://familywatch.org/) sangat aktif dalam menyadarkan masyarakat dan pemerintah akan bahaya gerakan liberal ini.
Gerakan liberal yang mengusung RUU PKS tidak menganggap keluarga sebagai institusi yang sah untuk terjadinya hubungan biologis pria dan wanita. Mereka hanya mendewa-dewakan hubungan biologis yang hedonistik dan bahkan institusi keluarga dianggap sebagai penghambat dari hawa nafsu mereka untuk memuaskan dorongan seksualnya. Mereka membajak sentimen gender dan menuduh bahwa institusi keluarga adalah bentuk penjajahan terhadap kebebasan perempuan. Mereka juga membajak isu hak asasi manusia, dengan mengatakan bahwa keluarga adalah institusi yang paternalistik (berpihak pada laki-laki) sehingga menghambat atau seolah menghalangi hak asasi perempuan. Mereka menipu masyarakat dengan mengatakan bahwa mereka adalah pembela perempuan, padahal dengan tidak adanya institusi keluarga dan merebaknya kebebasan seksual maka yang paling dirugikan sebenarnya adalah perempuan. Faktanya pada negara-negara yang liberal tersebut banyak wanita-wanita muda yang masuk Islam karena merasa Islam lebih melindungi mereka sebagai perempuan daripada budaya mereka sendiri yang katanya pro terhadap perempuan tapi justru banyak merugikan mereka. Di Inggris sekitar 5.000 penduduknya setiap tahunnya masuk Islam dan kebanyakan perempuan (Mistiaen, 2013). Di Amerika jumlah perempuan yang masuk Islam 4:1 dibandingkan dengan laki-laki yang masuk Islam dan mereka merasa “liberated” ketika masuk islam (Giglio, 2005). Padahal begitu mereka masuk Islam akan menjunjung tinggi keluarga dan mengharamkan kebebasan seksual.
Ikatan biologis adalah ikatan yang sangat penting dalam sebuah keluarga, namun tidak bisa dipisahkan dengan ikatan ibadah. Ikatan biologis yang dilakukan atau dipraktikkan dalam koridor ibadah akan berdampak positif terhadap ikatan psikologis antara suami dan istri. Bahkan menurut ulama klasik Abu Zayd al-Balkhi, hubungan suami istri yang didasarkan atas ikatan ibadah juga akan berdampak positif terhadap kesehatan secara biologis (al-Balkhi, 2013). Hal ini terbukti dalam penelitian-penelitian ilmiah di bidang kesehatan.
Secara psikologis ikatan yang terjadi dalam institusi keluarga merupakan sebuah kekuatan untuk menciptakan rasa tentram dan bahagia. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bersifat sementara atau temporer, namun adalah suatu produk dari berbagai macam pengalaman suka dan duka serta pengalaman berkesan yang menumbuhkan makna dalam kehidupan seseorang. Di dalam perjalanan kehidupan berkeluarga akan dirasakan apa yang disebut sabar dan syukur jika mereka memaknai pengalaman itu sebagai bagian dari ibadah. Jadi di sini ikatan ibadah tidak terlepas juga dalam kaitannya dengan dimensi psikologis.
Kalangan liberal memaknai aspek psikologis ini hanya dengan kepuasan sesaat. Mereka mereduksi kebahagiaan sebagai kesenangan yang membuat mereka tidak sabar ketika harus menghadapi ujian atau perjuangan dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Perspektif yang hanya sekedar berorientasi pada kepuasan dan kesenangan inilah yang disebut sebagai sikap yang hedonistik. Perspektif seperti inilah yang sering menjadi penyebab terjadinya perceraian atau kerusakan dalam institusi keluarga
Dalam ikatan sosiologis, keluarga merupakan sebuah institusi yang memiliki struktur dan hierarki yang masing masing memiliki peran yang berbeda-beda, namun peran itu saling terkait satu sama lain. Ibarat sebuah organisasi maka peran peran tersebut sifatnya fleksibel karena mereka melayani tujuan dari institusi keluarga tersebut, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Keluarga juga berfungsi sebagai embrio dari peradaban. Jika keluarga-keluarga kuat maka akan terbangun peradapan yang kuat pula, dan sebaliknya jika keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat lemah atau rapuh, maka peradaban yang akan terbangun juga akan rapuh.
Peran-peran tersebut adalah suami, istri, ayah, ibu, orang tua, anak, saudara atau kakak, dan adik. Dari daftar peran tersebut terlihat bahwa masing-masing anggota keluarga tidak hanya memiliki satu peran, namun perannya berbeda ketika berhadapan dengan orang yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Seorang suami terhadap istrinya akan memerankan kewajiban-kewajiban tertentu, dan di waktu yang bersamaan dia akan berperan sebagai ayah bagi anak-anaknya, yang memiliki kewajiban-kewajiban juga yang berbeda. Demikian pula dengan istri/ ibu, lalu anak/kakak/adik.
Peran ayah adalah peran yang sangat penting yang jika absen akan berdampak sangat fatal terhadap anaknya. Dalam sebuah penelitian oleh seorang psikolog senior di Amerika, tokoh-tokoh ateis dunia, hampir semua, pada masa kecilnya memiliki masalah dalam hubungan dengan ayahnya (Vitz, 2013). Anggapan bahwa tugas ayah adalah hanya sebagai pencari nafkah adalah sangat keliru. Bagi umat Islam kita semua tahu bahwa dalam Surat Luqman peran seorang ayah adalah mengajarkan tentang hikmah kepada anak keturunannya atau generasi selanjutnya. Penelitian lain oleh seorang psikolog senior, Joseph Nicolosi (2019), kegagalan peran ayah adalah menjadi salah satu penyebab terjadinya disorientasi seksual pada anak laki-laki atau yang disebut sebagai homoseksual. Mungkin karena itulah maka Al-Quran sangat tegas dalam memerintahkan umat Islam untuk menyantuni anak yatim. Mengingat hasil-hasil penelitian tersebut di atas, maka menyantuni di sini tidak hanya bermakna secara ekonomis, namun juga menggantikan peran ayah sebagai figur laki-laki dewasa di dalam masa perkembangan seorang anak.
Figur ayah ini lah yang diporak-porandakan oleh gerakan feminisme, yang menyebarkan aura perlawanan terhadap laki-laki. Para penganut feminisme ini terlalu fokus pada hak-hak perempuan sehingga melupakan kewajiban-kewajiban dari perannya sebagai istri maupun sebagai ibu. Para istri yang bersikap menentang para suami ini menyebabkan suami menjadi lemah, dan perannya sebagai ayah juga menjadi melemah. Melemahnya peran ayah menyebabkan anak-anak laki-laki mengalami disorientasi seksual, dan menjadi homoseksual. Oleh karena itu seperti yang di sampaikan oleh seorang psikolog senior, Profesor Nicholas Cummings (2012), mantan presiden Asosiasi Psikologi Amerika, gerakan feminisme ini pada akhirnya melahirkan gerakan LGBT.
Jika kita ingin memahami berbagai macam permasalahan yang terjadi dalam keluarga, kita harus menganalisisnya secara komprehensif dengan mempertimbangkan semua ikatan tersebut di atas. Misalnya, ketika ada informasi bahwa pernikahan dini adalah terjadi karena masalah ekonomi, pernyataan itu sifatnya parsial dan jika kemudian diintervensi berdasarkan laporan seperti itu maka intervensinya tidak akan tuntas dan justru, bisa jadi, akan memberikan mudarat yang lebih besar. Selama ini ketika melaporkan pernikahan dini tidak ada laporan mengenai sejauh mana aspek kesusilaan memengaruhi keputusan tersebut. Misalnya, mereka sudah berpacaran terlalu lama sehingga orang tuanya lebih memilih menikahkan daripada mereka berbuat zina. Atau bisa jadi pernikahan dini dilakukan karena mereka sudah berbuat zina sehingga menikah adalah lebih baik daripada meneruskan perbuatan zina tersebut. Jadi hal-hal yang terkait dengan ibadah ini kadang tidak menjadi perhatian dari media massa dan seolah-olah pernikahan itu sendiri adalah permasalahan, padahal bisa jadi pernikahan itu adalah satu solusi terhadap permasalahan moralitas masyarakat yang semakin hari semakin memburuk
Kesimpulan
Untuk menciptakan ketahanan keluarga yang pada akhirnya diharapkan dapat melahirkan generasi emas, maka kita perlu berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama kita harus memahami hakikat dari keluarga, yaitu sebagai sebuah ikatan yang sangat kuat yang mencakup dimensi ibadah, biologis, psikologis, sosiologis, dan ekonomi. Dari kelima ikatan tersebut ikatan ibadah adalah yang paling mendasar dan mewarnai keempat ikatan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam membina keluarga sangat penting untuk disadarkan bahwa kehidupan tidak berhenti pada kehidupan di dunia saja, namun akan berlanjut ke dalam kehidupan di akhirat. Perspektif inilah yang akan membedakan orientasi kehidupan seseorang sehingga dia akan lebih tahan dalam menghadapi berbagai permasalahan dan akan berpegang pada nilai-nilai yang bernuansa ibadah kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Untuk itu perlu dikembangkan dakwah keagamaan yang menyentuh hati dengan ilmu dan cinta. Dalam dakwah tentang ibadah perlu dilakukan pendekatan yang mendalam sehingga akan dipahami maksud dari setiap ajaran agama dan bisa dihayati serta dirasakan manfaatnya secara spiritual.
Kedua, dimensi biologis termasuk kesehatan merupakan salah satu pilar yang juga akan menopang ketahanan keluarga. Pengelolaan dimensi biologis ini harus dimaknai sebagai ibadah, dan harus dipahami bahwa dimensi biologis juga sangat terkait dengan dimensi psikologis sebagai dua hal yang tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, di dalam keluarga harus dikembangkan sikap empati dan kasih sayang sehingga setiap anggota keluarga tersebut akan merasakan ketentraman dalam rumah mereka. Pendidikan tentang cinta dan kasih sayang antarpasangan suami istri perlu dikembangkan agar hubungan antara suami dan istri tidak terasa kaku dan masing-masing bisa berempati terhadap keunikan pasangannya. Pendidikan tentang hidup sehat jasmani dan rohani juga perlu dikembangkan sehingga setiap anggota keluarga dapat menjaga kesehatan masing-masing
Ketiga, secara sosiologis pembagian peran dalam keluarga harus ditata secara adil dan bijaksana. Peran ayah sebagai figur yang diharapkan dapat menjadi teladan, harus kuat dan berfungsi untuk membentuk akhlaq yang kuat pada anak-anaknya. Akhlaq yang mendasar adalah keyakinan dan keimanan kepada Allah dan hari akhir, serta amal soleh. Jika orang tua bertindak bijak maka otomatis akan membentuk perilaku anak-anak yang berbakti terhadap orang tuanya. Pendidikan tentang “parenting” yang benar perlu dilakukan terhadap para calon orang tua dan juga yang sudah menjadi orang tua pada setiap tahap perkembangan anaknya.
Keempat, pembangunan keluarga juga perlu mencakup pendidikan tentang kemandirian ekonomi keluarga. Permasalahan ekonomi mungkin bisa dibantu dengan sumbangan atau bantuan keuangan, namun ketahanan ekonomi keluarga membutuhkan pengetahuan, sikap, dan semangat untuk kemandirian ekonomi. Sehingga setiap keluarga akan mampu menyelesaikan masalah ekonomi mereka masing-masing dan tidak tergantung pada bantuan sosial.
Kelima, program-program penguatan ketahanan keluarga ini perlu didukung oleh sistem informasi yang merekam kelima dimensi ikatan dalam keluarga tersebut dari waktu ke waktu. Dengan demikian akan dapat diketahui tingkat keberhasilan dari program yang akan dilakukan. Dan akan terdeteksi pada titik mana perlu diusahakan usaha ekstra sehingga ketahanan keluarga yang dicita-citakan dapat tercapai dan dalam jangka panjang akan lahir generasi emas yang akan berguna bagi agama, bangsa, negara, dan umat manusia secara keseluruhan. Insya Allah. Amin.
Daftar pustaka
Al-Balkhi, A. Z. (2013). Sustenance of the soul: The cognitive behavior therapy of a ninth century physician (M. Badri, Trans.). International Institute of Islamic Thought.
Banerjee, A., & Duflo, E. (2011). Poor economics: A radical rethinking of the way to fight global poverty. Public Affairs.
Barreto, M., Victor, C., Hammond, C., Eccles, A., Richins, M., & Qualter, P. (2021). Loneliness around the world: Age, gender, and cultural differences in loneliness. Personality and Individual Differences, 169. 110066. https://doi.org/10.1016/j.paid.2020.110066
Coleman, D., & Rowthorn, R. (2011). Who’s afraid of population decline? A critical examination of its consequences. Population and Development Review. 37(supplement 1), 217-248. https://doi.org/10.1111/j.1728-4457.2011.00385.x
Cummings, N. (Presenter). (2012, Mar 27). “Unbiased, open research [on homosexuality] was never done” [Video]. Dr. Joseph Nicolosi. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=BPgq1c4TYi4
DW. (2019, Oktober). Berlin, capital of loneliness. https://www.dw.com/en/berlin-capital-of-loneliness/a-50867492
European Parliament. (2008, April). As Europe ages – how can we tackle its demographic decline?. https://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=-//EP//TEXT+IM-PRESS+20080414FCS26499+0+DOC+XML+V0//EN
Giglio, E. (2005). American female converts to Islam and their feelings of liberation. https://digitalshowcase.lynchburg.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1012&context=agora
Health Resources & Services Administration. (2019, Januari). The “loneliness” epidemic. https://www.hrsa.gov/enews/past-issues/2019/january-17/loneliness-epidemic
Hoffman, M. (2018, November 10). Japan struggles to keep loneliness at arm’s length. The Japan Times. https://www.japantimes.co.jp/news/2018/11/10/national/media-national/japan-struggles-keep-loneliness-arms-length/
Khaldun, I. (1377). Muqaddimah: An Introduction to History (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.
Mistiaen, V. (2013, Oktober 11). Converting to Islam: British women on prayer, peace, and prejudice. The Guardian.https://www.theguardian.com/world/2013/oct/11/islam-converts-british-women-prejudice
NDTV. (2018, Januari). Britain appoints minister for loneliness. https://www.ndtv.com/world-news/britain-appoints-minister-for-loneliness-tracey-crouch-to-tackle-social-isolation-1801422
Nicolosi, J. (Presenter). (2019, Okt 11). The causes and treatment of male homosexuality [Video]. Dr. Joseph Nicolosi. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=lgYQwx2ruto
Parsons, T., Shils, E., Naegele, K. D., & Pitts, J.R. (1961). Theories of society: Foundations of modern sociological theory. The Free Press.
Rahman, V. (2019). IMR2019: Bonus demografi di Indonesia. IDN Times. https://www.idntimes.com/news/indonesia/vanny-rahman/bonus-demografi-di-indonesia-peluang-atau-tantangan-ims2019
Vitz, P. (2013). Faith of the fatherless: The psychology of atheism. Ignatius Press.
Yapko, M. (2018, Mei 15). How to prevent depression: full transcript. Psychlopaedia.https://psychlopaedia.org/health/how-to-prevent-depression-full-transcript/
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved