Menuju Peradaban Indonesia yang Tinggi dan Mulia

Marriage is Scary: Berdamai dengan Rasa Takut terhadap Pernikahan

September 23, 2024


Tren tagar marriage is scary kini sedang mencuat dan ramai diperbincangkan di internet. Fenomena ini dipicu oleh beredarnya video kekerasan rumah tangga seorang influencer yang viral di media sosial. Tidak sedikit pula yang membagikan pengalaman dan cerita yang kurang menyenangkan terkait pernikahan di media sosial. Para generasi muda yang belum menikah juga turut membagikan kekhawatiran dan ketakutannya terhadap pernikahan. Tren ini biasanya diikuti dengan kata “what if”, bagaimana jika hal-hal yang ditakutkan soal pernikahan itu benar-benar terjadi, seperti mendapati pasangan yang berselingkuh, tidak bisa mencapai cita-cita, mengalami kegagalan menikah atau bercerai, dan lain sebagainya. Lalu, apakah takut dan khawatir adalah hal yang wajar dirasakan?

Adanya perasaan takut atau khawatir adalah hal yang wajar, terlebih pernikahan adalah keputusan besar dalam kehidupan seseorang yang penuh dengan ketidakpastian. Perasaan takut dan khawatir pada taraf yang wajar justru bisa membantu kita untuk memiliki kesiapan diri yang baik dan mempertimbangkan dengan matang calon pasangan. Di sisi lain, kita perlu memperhatikan bahwa ada beberapa faktor yang dapat memperkuat perasaan takut itu, seperti pengalaman buruk di masa lalu maupun paparan negatif media sosial. Lalu, apa saja hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menghadapi rasa takut dan kekhawatiran tersebut?

  1. Mengenali Diri

Pada dasarnya, mengenal diri adalah proses sepanjang hidup yang perlu untuk terus direfleksikan seiring diri kita yang terus berkembang, mengalami hal-hal baru, dan merespons setiap perubahan di sekitar. Mengenali diri penting dilakukan karena setiap diri kita bertanggung jawab atas diri, termasuk setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil akan dipengaruhi oleh bagaimana pandangan kita terhadap diri kita sendiri (Fachrunisa, 2024). Kaitannya dengan menghadapi rasa takut dan khawatir terhadap pernikahan, kita perlu mengidentifikasi terlebih dahulu perasaan tersebut. 

Proses identifikasi dapat dilakukan dengan melakukan refleksi, apa yang menyebabkan ketakutan dan kekhawatiran itu, apakah ada pengalaman masa lalu, pengaruh lingkungan sosial, maupun berbagai pemicu lainnya. Setelah mengenali penyebabnya, coba pahami dan kelola hal tersebut dengan memberikan pemaknaan yang lebih positif. Mengenali diri bukan hanya membantu kita merespons ketakutan dan kekhawatiran, tetapi juga mengenali kebutuhan diri kita kaitannya dengan kesiapan diri menuju pernikahan maupun kriteria pasangan yang kita butuhkan.

  1. Mengoptimalkan Potensi Dasar Diri

Setiap dari kita memiliki empat potensi dasar diri, yaitu sensing, reasoning, empathy, dan conscience (Riyono, 2023). Sensing adalah kemampuan merasakan sesuatu dengan lima indra (penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan penciuman) yang membantu menghubungkan diri kita dengan dunia luar. Reasoning berkaitan dengan kognisi dan pemikiran rasional yang memungkinkan kita memahami makna lebih dalam. Empathy berkaitan dengan keterhubungan secara emosional dengan orang lain. Conscience atau hati nurani merupakan potensi terdalam yang berkaitan dengan spiritualitas, keterhubungan dengan Tuhan, dan pencapaian tujuan hidup yang lebih tinggi. Empat potensi dasar ini merupakan fondasi perkembangan psikologis yang akan membentuk bagaimana seseorang mempersepsikan dan memahami sesuatu, berhubungan dengan orang lain, dan menjaga kebutuhan dasar jiwanya. Oleh karena itu, empat potensi ini perlu untuk terus dikembangkan dengan seimbang sehingga kita mampu mengarahkan sikap dan tindakan kita pada kondisi jiwa yang sehat. 

Kita dapat memahami dan merespon perasaan takut terhadap pernikahan dengan mengoptimalkan empat potensi dasar yang kita miliki. Dimulai dari sensing, kita menyadari ketakutan dan kekhawatiran yang dirasakan. Kita perlu mengidentifikasi antara kondisi nyata yang kita alami dengan ketakutan yang masih dibayangkan. Sensing membantu kita untuk fokus pada realitas saat ini dibandingkan pada ketakutan yang abstrak atau tidak rasional. Selanjutnya, potensi reasoning dapat membantu kita memproses rasa takut secara logis, apakah ketakutan kita disebabkan oleh sesuatu yang valid atau tidak. Dengan merefleksikan dan menganalisis penyebab rasa takut, memungkinkan kita mengambil keputusan yang rasional alih-alih dikendalikan oleh emosi semata. Empathy bisa kita lakukan dengan membagikan kekhawatiran dengan calon pasangan atau pasangan serta mendengarkan secara aktif perspektif mereka. Hal ini dapat membangun kepercayaan emosional satu sama lain sehingga merasa dipahami dan didukung. Conscience akan membimbing kita untuk memaknai pernikahan secara lebih esensial. Hati nurani yang kita asah akan membimbing kita pada pemaknaan yang lebih dalam, tidak berhenti pada pikiran dan dorongan emosi yang kita rasakan. 

  1. Memahami Ketidakpastian dalam Hidup 

Ketidakpastian adalah suatu hal yang pasti dalam hidup ini. Dalam sehari-hari tentu kita menghadapi ketidakpastian ini, mulai dari rasa makanan dari resep baru yang kita coba hingga hal-hal yang lebih kompleks, seperti karier, kondisi kesehatan, finansial, dan hubungan dengan orang lain. Ketidakpastian sering membuat kita cemas dan khawatir akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi di masa depan. Kecemasan atau kekhawatiran berlebihan bisa terjadi ketika kita tidak bisa menerima ketidakpastian itu atau dalam psikologi dikenal dengan istilah intolerance of uncertainty. Orang yang tidak toleran terhadap ketidakpastian cenderung memiliki bias kognitif sehingga melihat ketidakpastian sebagai hal negatif yang harus dihindari. Akibatnya seseorang menjadi sulit beradaptasi atau berfungsi dengan baik dalam situasi-situasi yang tidak pasti (Dugas dkk., 2004).

Rasa cemas dan khawatir terhadap pernikahan dapat kita kelola melalui berdamai dengan ketidakpastian. Semakin besar keinginan kita untuk mengontrol dan memastikan banyak hal di masa depan, semakin meningkatkan tingkat stres dan kecemasan kita. Kita tidak memiliki kendali penuh atas masa depan atau hasil suatu hubungan. Maka, ketidakpastian adalah bagian dari hidup yang harus kita terima. Dengan penerimaan itu, kita dapat lebih fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan usahakan, serta tidak terlalu mengkhawatirkan hal-hal buruk yang belum tentu akan terjadi. 

  1. Menumbuhkan harapan

Di tengah berbagai berita negatif maupun pengalaman buruk terkait pernikahan, penting bagi kita membangun harapan yang akan menjadi kekuatan dan motivasi untuk menghadapi masa depan. Dalam hidup, kita akan terus menghadapi ketidakpastian dan berbagai risiko yang mengikutinya. Hope atau harapan merupakan kekuatan yang berbentuk keyakinan pada hasil baik di masa depan meskipun dalam situasi yang tidak pasti atau berisiko. Harapan menjadi faktor yang signifikan dalam kekuatan motivasi karena dapat memberdayakan individu untuk bertindak bahkan ketika menghadapi risiko tinggi atau ketidakpastian (Riyono dkk., 2012). Harapan yang akan memberi energi untuk terus bergerak maju, memiliki resiliensi atau ketahanan, dan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik. 

Akar dari kecemasan terkait pernikahan sering berasal dari ketakutan atas ketidaktahuan atau ketidakpastian. Rasa takut fokus pada hal buruk yang mungkin terjadi, sedangkan harapan fokus pada apa yang bisa berjalan dengan baik. Rasa takut memunculkan ketidakmampuan bertindak atau kecenderungan menghindar dan harapan memotivasi kita untuk melihat pernikahan sebagai perjalanan menuju pertumbuhan bersama. Alih-alih fokus pada potensi kegagalan, harapan memungkinkan kita untuk fokus pada membangun kepercayaan, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi dalam pernikahan.

Rasa takut dan kekhawatiran terhadap pernikahan, terutama di tengah maraknya berita negatif dan pengalaman buruk yang sering dibagikan, adalah hal yang wajar. Namun, penting bagi kita untuk tidak terjebak dalam rasa takut atau cemas tersebut. Dengan mengenali diri, mengoptimalkan potensi dasar diri, serta memahami bahwa ketidakpastian sebagai bagian dari kehidupan, kita dapat mengelola kecemasan dan kekhawatiran dengan lebih baik. Lebih dari itu, menumbuhkan harapan adalah kunci utama. Harapan bukan hanya memberikan energi untuk terus melangkah, tetapi juga memperkuat resiliensi dan kemampuan kita dalam menghadapi tantangan dalam pernikahan. Dengan memupuk harapan, kita tidak lagi berfokus pada ketakutan akan kegagalan atau kemungkinan buruk yang akan terjadi, melainkan pada peluang untuk pertumbuhan, kebahagiaan, dan kebersamaan yang bisa tercipta dalam pernikahan.

Referensi

Dugas, M. J., Schwartz, A., & Francis, K. (2004). Brief report: Intolerance of uncertainty, worry, and Depression. Cognitive Therapy and Research, 28(6), 835–842. https://doi.org/10.1007/s10608-004-0669-0

Fachrunnisa, R. A. (2024). Embrace your soul: Seni dalam mengenali diri. Bhuana Ilmu Populer.

Riyono, B. (2023). Constructing the theory of human basic potential based on Quranic messages: Study with Maqasid methodology. Minbar. Islamic Studies, 16(2), 449–475. https://doi.org/10.31162/2618-9569-2023-16-2-449-475

Riyono, B., Himam, F., & Subandi. (2012). In search for anchors  the fundamental motivational force in compensating  for human vulnerability. Gadjah Mada International Journal of Business, 14(3), 229. https://doi.org/10.22146/gamaijb.5475

Author : Lu’luuul Jannah/LAKI

Reviewer dan Editor : Nur Rohmah Itsnaini/LAKI