Menuju Peradaban Indonesia yang Tinggi dan Mulia

Membangun Kelekatan Keluarga melalui Pengasuhan yang Santun

December 21, 2022


Pernahkah kamu mengamati atau bahkan merasakan sendiri kondisi dimana sebuah keluarga tinggal dan hidup bersama dalam satu rumah, namun seperti tidak ada keterikatan antara setiap anggota keluarganya? Ada pula kondisi sebaliknya, dimana sebuah keluarga tinggal secara terpisah di beberapa kota bahkan negara, namun hubungan mereka tetap erat satu sama lain. Gambaran dua keluarga tersebut akan membantu kita untuk memahami sebuah konsep hubungan antar manusia yang biasa disebut dengan kelekatan atau attachment.

APA Dictionary of Psychology (2015) mengartikan kelekatan sebagai ikatan emosional antara bayi manusia dengan sosok orang tua atau pengasuhnya. Manusia mengembangkan konsep kelekatan sebagai langkah dalam membangun perasaan aman yang ditunjukkan oleh ketenangan saat berada di hadapan orang tua atau pengasuh. Kelekatan juga menunjukkan kecenderungan bagi bayi untuk membentuk ikatan emosional dengan individu lain serta kecenderungan untuk mencari hubungan sosial yang mendukung secara emosional di masa dewasa nantinya. Dengan kata lain, Kelekatan akan membimbing kita dalam pola dan kebiasaan tertentu untuk membentuk dan memelihara hubungan (Fraley 2010, dalam Ackerman, 2018). Pada artikel ini, penulis akan membahas mengenai jenis-jenis kelekatan yang dapat mengantarkan pembaca kepada cara membangun kelekatan keluarga. Ainsworth (1979, dalam Santrock 2019) merumuskan jenis kelekatan pada bayi menjadi 4 tipe.

1. Securely attached baby

Pada tipe ini bayi menganggap pengasuh sebagai figur aman agar mereka bisa mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya. Apabila pengasuh meninggalkan mereka, akan timbul protes ringan dari bayi. Ketika pengasuh hadir kembali, bayi menyambutnya dengan interaksi positif seperti tersenyum atau mendekati pangkuan pengasuh.

2. Insecure-avoidant baby

Bayi hanya menjalin sedikit interaksi dengan pengasuh, bahkan terkesan menjaga jarak. Mereka cuek dengan ada atau tidaknya pengasuh di sekitar mereka. Apabila pengasuh pergi, bayi tidak akan merasa tertekan dan ketika pengasuh kembali hadir, bayi tidak merespon.

3. Insecure-resistant baby

Bayi menunjukkan kecemasan saat mengeksplorasi lingkungan. Mereka cenderung kurang percaya diri dan terlalu bergantung kepada pengasuh. Mereka mungkin menampilkan reaksi emosional yang berlebihan dan menjaga jarak dari teman sebaya sehingga mengarah ke isolasi sosial.

4. Insecure disorganized baby

Bayi tampak linglung, bingung, dan ketakutan. Bayi yang diklasifikasikan dalam tipe ini biasanya menunjukkan pola insecure avoidant dan insecure resistant yang kuat. Terkadang ia juga menunjukkan perilaku tertentu seperti ketakutan yang ekstrem di sekitar pengasuh.

Dalam konteks perkembangan orang dewasa, kelekatan tidak lagi berbicara seputar hubungan individu dengan orang tua atau pengasuhnya. Hubungan individu dengan pasangan romantisnya memenuhi beberapa kebutuhan sebagaimana yang orangtua berikan pada anak. Seperti halnya securely attached baby, orang dewasa dapat mengandalkan pasangan sebagai tempat yang aman untuk kembali mendapatkan kenyamanan dan keamanan dari berbagai tekanan yang dialami. Terdapat 3 jenis kelekatan pada orang dewasa (Santrock, 2019).

1. Secure attachment style

Orang dewasa dengan tipe kelekatan ini memandang hubungan dengan positif, mudah dekat dengan orang lain, tidak mengkhawatirkan hubungan romantis secara berlebihan, dan menjaga fitrah seksualitasnya dalam hubungan yang berkomitmen.

2. Avoidant attachment style

Pada tipe ini, seseorang ragu-ragu untuk terlibat dalam suatu hubungan romantis. Ketika akhirnya berada dalam suatu hubungan, ia cenderung menjauhkan diri dari pasangannya.

3. Anxious attachment style

Ciri yang muncul pada tipe kelekatan ini adalah terlalu menuntut kedekatan yang berlebihan, kurangnya rasa percaya terhadap orang lain, lebih emosional, cemburu, dan posesif.

Ketiga jenis kelekatan tersebut merupakan suatu kontinum. Artinya, tipe kelekatan pada seseorang dimaknai sebagai cara untuk menggambarkan dan memahami perilaku individu, bukan sebuah label dengan deskripsi yang menetap tentang kepribadian seseorang. Individu dengan secure attachment style terkadang dapat menampilkan perilaku yang lebih mirip dengan tipe lain, pun individu dengan avoidant attachment style dapat membentuk ikatan yang aman dengan orang-orang tertentu (Ackerman, 2018).

Kelekatan keluarga dapat diartikan sebagai ikatan emosi yang kuat antara anggota keluarga. Tiap anggota keluarga tidak hanya hadir secara fisik, namun juga memahami kondisi emosi satu sama lain. Kelekatan pada keluarga meliputi ikatan emosi anak dengan orangtua, suami dengan istri, dan juga antar saudara. Keluarga dengan kelekatan yang tinggi akan membuat anggota keluarganya tumbuh dengan rasa percaya diri, mampu menjaga hubungan yang baik dengan orang lain, menanamkan kedisiplinan, mempengaruhi perkembangan intelektualitas dan psikologis, serta menciptakan harga diri dan kesejahteraan yang lebih baik (Maulanski, 2020).

Lantas, bagaimana cara menciptakan kelekatan pada keluarga yang bersifat aman (secure)? Banyak riset menunjukkan bahwa kelekatan berhubungan dengan pengasuhan orang tua. Secure attachment timbul dari orang tua yang selalu hadir saat bayi membutuhkannya. Sementara pada orang dewasa, secure attachment berkaitan dengan kebebasan yang bertanggung jawab antar pasangan sehingga menimbulkan kepercayaan, komitmen, dan kelanggengan dalam sebuah hubungan. Kelekatan dalam keluarga dapat dimunculkan dengan hadir secara psikologis untuk anggota keluarga lainnya. Peran ayah dan ibu sangat penting untuk mencontohkan hubungan emosi yang hangat ini kepada anak-anaknya. Dengan melihat bagaimana orangtua hadir satu sama lain, anak akan belajar untuk mendengarkan, memahami, dan membersamai saudara atau orang tuanya secara emosional.

Dalam artikel ini penulis juga akan mengenalkan mengenai pengasuhan yang santun. Pengasuhan yang santun berarti orangtua siap mendidik anaknya dengan menyadari bahwa anak adalah titipan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karenanya, pengasuhan harus dilakukan tanpa adanya kekerasan fisik, verbal, maupun pelecehan dan pengabaian. Pengasuhan yang santun bermakna bahwa orang tua mendengar pendapat anak, menghargai privasi anak, dan memberikan ruang bagi anak untuk berlatih menentukan pilihannya sendiri. Interaksi keluarga yang santun serta menghargai status perkembangan individu dan pengalaman pribadi akan menjadi pondasi persepsi diri dan memperkuat kontribusi individu dalam keluarga (Hill et al., 2003).

Apabila orang tua merasa tidak bisa menerapkan pengasuhan yang santun karena teringat luka pengasuhannya di masa lalu, orangtua perlu menyelesaikan kondisinya terlebih dulu. Orangtua  memahami bahwa tahapan yang sedang dilaluinya merupakan sebuah proses pembelajaran panjang. Sama halnya dengan bayi yang mengalami banyak tugas perkembangan hingga menjadi anak-anak, remaja, dan dewasa. Menjadi orangtua juga memiliki tugas perkembangan idealnya sendiri dalam tahap-tahap pengasuhan. Dimulai sebagai pelindung bagi anak yang masih bayi, pemimpin bagi anak balita, pembimbing bagi anak seusia sekolah dasar, pelatih bagi anak yang menginjak remaja, hingga akhirnya menjadi pendukung bagi anak yang telah tumbuh dewasa (Galinsky 1987, dalam Diener, 2012).

Dengan memahami panjangnya jalan belajar sebagai orangtua, sudah saatnya kita menginisiasi pemutusan rantai pengasuhan yang salah. Orang tua yang awam akan ilmu parenting masih kerap memukul, membentak, dan melabeli anak dengan kata-kata negatif. Padahal dengan cara yang tidak santun tersebut akan menihilkan proses reflektif dalam diri anak. Anak tidak akan paham mengapa suatu hal tidak boleh dilakukan. Misalnya pada contoh berikut.

Suatu hari, Lala tidak sengaja memecahkan gelas ketika ingin mengambilnya dari kulkas. Karena Lala tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah memecahkan gelas, Lala memberi tahu bundanya. Bukannya memberi tahu apa yang harus dilakukan, sang bunda justru memarahi Lala. Alhasil jika suatu hari Lala kembali memecahkan gelas, kejadian ini akan membuat Lala memilih kabur tidak bertanggung jawab daripada mendapat bentakan kesekian kalinya dari sang bunda. Lala akan belajar bahwa kekerasan adalah cara orangtuanya menyelesaikan masalah.”

Oleh karenanya, terapkanlah pengasuhan yang santun, yang menuntun dengan diikuti pemahaman, yang dapat menghantarkan keluarga pada kelekatan sebagai pondasi dalam menghadapi kehidupan.

Penulis: Dewi Amalia Rahmawati

Penyunting: Hastinia Apriasari

Referensi

Ackerman, C. E. (2018, April 27). What is Attachment Theory? Bowlby’s 4 Stages Explained. PositivePsychology.com. https://positivepsychology.com/attachment-theory/#infants-attachment-theory

American Psychological Association. (n.d.). APA Dictionary of Psychology. Dictionary.apa.org. Retrieved November 10, 2022, from https://dictionary.apa.org/attachment

Diener, M. L. (2012). The Developing Parent. Noba. https://nobaproject.com/modules/the-developing-parent

Hill, J., Fonagy, P., Safier, E., & Sargent, J. (2003). The Ecology of Attachment in the Family. Family Process, 42(2), 205–221. https://doi.org/10.1111/j.1545-5300.2003.42202.x

Maulanski. (2020, December 2). Attachment: Definisi Kelekatan Attachment. PsikologiHore! https://www.psikologihore.com/teori-kelekatan-menurut-para-ahli/

Santrock, J. W. (2019). Life span development (17th ed.). Mcgraw-Hill Education.