Anak adalah anugerah yang diberikan kepada orang tua, selayaknya sebuah titipan yang harus dijaga dan dihargai. Mereka membawa kebahagiaan, harapan, dan masa depan yang cerah. Namun, bagaimana kita memandang dan memperlakukan anak-anak kita sangatlah penting. Terkadang, cara mendidik yang dilakukan orang tua seakan-akan tidak menganggap bahwa anak sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatannya sendiri. Hal ini sering kali menghambat perkembangan anak secara optimal dan meredam nilai-nilai positif yang sudah diberikan oleh Tuhan kepada sang anak. Oleh karena itu, untuk membantu para orang tua dalam mengasuh anak, kita akan membahas mengenai siapakah hakikatnya anak kita, pemaknaan anak sebagai titipan Tuhan dan anak sebagai insan Tuhan, dan bagaimana seharusnya kita memperlakukan mereka.
Hakikatnya, Siapa anak Kita?
Setiap anak lahir dengan naluri dan potensinya masing-masing, bukan seperti layaknya kertas kosong. Mereka datang ke dunia dalam keadaan fitrah atau suci, yang kemudian dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan di sekitar anak. Sejak kelahiran, anak-anak membawa sifat-sifat bawaan yang suci dan kecenderungan alami yang membentuk dasar dari perkembangan mereka. Barulah didikan orang tua, yang merupakan pendidikan terdekat dan paling dini yang didapatkan sang anak, interaksi sosial, dan pengalaman hidup, memainkan peran dalam mengarahkan dan membentuk pribadi sang anak.
Tantangan muncul ketika orang tua tidak sepenuhnya menyadari tanggung jawab besar mereka dalam mengasuh anak. Di satu sisi, terdapat orang tua yang cenderung menyerahkan tugas pengasuhan kepada pihak lain, seperti pengasuh atau lembaga pendidikan, tanpa memberikan perhatian yang cukup terhadap perkembangan emosional dan moral sang anak. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa pengasuhan adalah amanah yang harus mereka emban dengan serius di dunia ini dan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.
Di sisi lain, ada orang tua yang terlalu mengontrol, tidak memberi ruang bagi sang anak untuk tumbuh sebagai individu yang merdeka. Mereka melihat anak sebagai perpanjangan dari diri mereka sendiri seolah-olah anak adalah milik mereka, bukan sebagai individu yang memiliki kehendak dan potensi unik yang harus dihargai.
Kedua fenomena parenting ini, baik yang terlalu abai maupun yang terlalu interventif, dapat menghambat perkembangan optimal anak sebagai insan Tuhan yang merdeka dan bertanggung jawab di bumi ini. Orang tua idealnya harus menemukan keseimbangan antara memberikan bimbingan dan kebebasan, menghargai anak sebagai individu yang memiliki hak untuk berkembang dan belajar melalui pengalaman hidup mereka sendiri.
Anak sebagai titipan Tuhan
Anak dipandang sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Pandangan ini menekankan tanggung jawab besar yang harus diemban oleh orangtua. Menurut Regnerus dkk. (2003), pandangan religius ini dapat memberikan landasan moral yang kuat bagi orang tua dalam mendidik anak mereka.
Ketika kita melihat anak-anak sebagai titipan Tuhan, kita diingatkan akan tanggung jawab untuk membesarkan mereka dengan cinta, kasih sayang, dan perhatian yang tulus. Hal ini juga mencakup memberikan pendidikan moral dan spiritual yang kuat agar mereka tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab dan bermoral tinggi. Dengan demikian, meskipun anak kita sudah mendapatkan pendidikan formal di lembaga pendidikan yang dipercayai oleh orang tua, para orang tua juga tidak boleh melepas tanggung jawabnya dalam mendidik anak, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai moral sebagai makhluk Tuhan di bumi.
Anak sebagai insan Tuhan
Selain sebagai titipan Tuhan, anak juga harus dipandang sebagai insan Tuhan yang memiliki martabat dan hak asasi. Anak bukan hanya objek dari tindakan orang dewasa, tetapi subjek dengan suara dan hak mereka sendiri. Pengakuan terhadap anak kita ini penting dalam memastikan bahwa anak-anak dihargai dan diperlakukan dengan adil.
Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan, dan partisipasi dalam keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Perlindungan hak anak ini sejalan dengan Konvensi Hak Anak dari UNICEF, yang menekankan pentingnya menghormati dan memenuhi hak-hak anak.
Orang tua perlu memberi ruang bagi anak untuk mengeksplorasi diri, mengambil keputusan, dan belajar dari pengalaman mereka. Ini berarti mendengarkan suara anak dan memberi bimbingan tanpa memaksakan kehendak. Namun, orang tua juga memiliki kewajiban untuk mendidik anak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Dengan demikian, hal ini mampu memberikan anak landasan pertimbangan, cara pandang dan penilaian yang hakiki. Hal ini penting, agar anak tidak memilih atau melakukan yang dia mau atas dasar nafsunya. Dengan memberi bekal nilai-nilai kebenaran, mengarahkan, mendengarkan dan memberi ruang, orang tua menghormati martabat anak sebagai individu yang merdeka, sesuai dengan prinsip kebenaran, keadilan, dan kasih sayang.
Bagaimana kita sebaiknya memperlakukan Anak?
Bentuk memaknai anak sebagai titipan Tuhan, perlu ditunjukkan dengan memastikan orang tua sepenuhnya berupaya mendidik anak dengan sebaik-baiknya sebagai amanah yang diberikan selama di dunia. Salah satu bentuknya adalah dengan menjadi teladan yang baik bagi anak-anak kita. Jika kita mengarahkan mereka untuk salat, puasa, dan melakukan kewajiban lainnya, kita harus melakukannya terlebih dahulu sebelum menyuruh mereka. Jangan sampai kita menyuruh mereka untuk melakukan sesuatu, sementara kita sendiri tidak melakukannya. Misalnya, saat waktu azan salat lima waktu tiba, kita malah sibuk menonton TV atau bermain HP. Tindakan seperti ini menjadi contoh buruk yang dapat tertanam dalam hati dan pikiran mereka, menyebabkan mereka memberontak dan tidak mau mengikuti perintah kita, karena adanya perbedaan atau kontradiksi dari yang diperintahkan orang tua dengan apa yang orang tua lakukan sehari-hari.
Kecenderungan anak meniru perilaku orang tua yang mereka lihat sewaktu kecil disebut “observational learning” atau “modeling” dalam ilmu psikologi. Anak belajar banyak perilaku melalui observasi dan peniruan dari orang-orang di sekitar mereka, terutama orang tua. Anak akan cenderung memunculkan perilaku yang mereka lihat dari orang di sekitar mereka (IOMNRC, 2015).
Selain itu, setelah orang tua mengajarkan dan memberi contoh tentang kebenaran yang hakiki, dengan demikian kita juga harus mau mendengarkan suara anak kita dan menghormati pandangan mereka. Memberikan anak-anak kesempatan untuk membuat pilihan dan belajar dari pengalaman mereka sendiri adalah kunci untuk membangun rasa bertanggung jawab, percaya diri dan kemandirian. Dari segala proses itu, orang tua tetap wajib mengingatkan pada kebenaran yang bersumber pada Tuhan, dengan penuh kasih sayang.
Referensi
Convention on the Rights of the Child text. (n.d.). UNICEF. https://www.unicef.org/child-rights-convention/convention-text
Institute of Medicine and National Research Council. 2015. Transforming the Workforce for Children Birth Through Age 8: A Unifying Foundation. Washington, DC: The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/19401.
Promoting children’s independence: What parents say vs do. (2023, October 16). National Poll on Children’s Health. https://mottpoll.org/reports/promoting-childrens-independence-what-parents-say-vs-do
Regnerus, M., Smith, C., & Fritsch, M. (2003). Religion in the lives of American adolescents: A Review of the Literature.
Penulis : Alif Akbar Rifa’i/LAKI
Reviewer : Sakti Mutiara Evitasari/LAKI
Sumber gambar : Freepik
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved