Hidup adalah perjalanan yang digariskan memiliki dua macam rasa; manis dan getir lapang dan sesak, suka dan duka, nikmat dan musibah. Bertambahnya peran, akan semakin menguatkan rasa-rasa yang dinikmati oleh seorang hamba di dalam hidupnya. Sesosok pribadi menikah, lalu rumah tangga akan memberikan sematan gelar baru, yakni suami/istri, ayah/ibu. Maka manis dan getir, lapang dan sesak, suka dan duka yang dirasakannya akan mengalami penegasan bentuk, penajaman tusuk, dan pelipatan bobot. Sebab itulah seorang hamba yang menikah disebut menyempurnakan separuh agama. ~Salim A. Fillah dalam buku Lapis-Lapis Keberkahan~
Istilah “selesai dengan diri sendiri” semakin sering kita dengar dalam berbagai kajian bertemakan kesiapan menikah. Dalam konteks ini, “selesai dengan diri sendiri” bukan berarti seseorang harus menjadi sempurna, karena sejatinya kita tidak pernah selesai hingga sang Pencipta menyelesaikan tugas kita di dunia. Selesai dengan diri sendiri adalah telah cukup mengenal diri, menyadari nilai-nilai yang diyakini, serta memahami tanggung jawab dan peran yang akan dijalani ketika memutuskan untuk membangun sebuah keluarga. Ketika hal tersebut sudah terpenuhi, maka seseorang dapat dikatakan siap secara personal untuk membangun keluarga.
Makna Keluarga
Membangun sebuah keluarga merupakan keputusan yang besar dalam kehidupan manusia dewasa. Fase ini bukan hanya menyatukan dua individu dalam ikatan pernikahan, bukan hanya tentang cinta dan bersama tetapi tentang menjadi pasangan dan menjadi orang tua, bukan hanya tentang dua individu saja tetapi tentang dua keluarga, bukan hanya tentang kedewasaan personal tetapi juga kedewasaan spiritual. Namun, tidak sedikit individu yang memasuki jenjang pernikahan tanpa kesiapan dan persiapan, terutama dalam hal kesiapan diri untuk menerima dan menjalani berbagai peran baru dalam kehidupan keluarga. Hal tersebut dapat menyebabkan berbagai persoalan, mulai dari perceraian, ketidakmampuan beradaptasi dengan peran baru, dan ketidaksiapan dalam pengasuhan yang akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak (Nabila dan Nurwati, 2024). Selain itu, seseorang yang belum selesai dengan dirinya cenderung mengalami kebingungan identitas dan terjadi konflik peran, yang pada akhirnya dapat memunculkan konflik rumah tangga (Davita, 2021).
Menurut Havighurst (dalam Hakim, 2023), tanggung jawab yang terkait dengan fase dewasa awal adalah memilih pasangan yang sesuai dengan diri sendiri, memahami pikiran dan perasaan setiap orang, dan belajar untuk hidup bersama sebagai suami dan istri dengan menyesuaikan pendapat, keinginan, dan minat masing-masing pasangan. Menurut Erikson (1963, dalam Sari dan Sunarti, 2013), tahapan perkembangan dewasa awal ditandai dengan konflik antara intimacy versus isolation, yang berarti seseorang harus dapat menjalin hubungan yang intim dengan orang lain tanpa kehilangan identitas dirinya . Oleh karena itu, pemahaman tentang diri sendiri dan penyelesaian masalah internal sangat penting bagi seseorang sebelum memutuskan untuk membangun keluarga.
Blood (dalam Davita, 2021) membagi persiapan menikah menjadi dua kategori: persiapan pribadi (personal) dan persiapan situasi (circumstantial). Persiapan pribadi terdiri dari persiapan emosi, usia, kematangan sosial, kesehatan emosional, dan persiapan model peran. Persiapan situasi terdiri dari persiapan finansial dan waktu. Selesai dengan diri sendiri menggambarkan kondisi siap menikah secara personal. Tujuh ciri kematangan emosi disebutkan oleh Smitson (dalam Davita, 2021). Mereka adalah kemampuan untuk berkembang ke arah kemandirian, kemampuan untuk menerima kenyataan, kemampuan untuk beradaptasi, kesiapan untuk merespon, kemampuan untuk berperilaku seimbang, pemahaman empati, dan kemampuan untuk mengendalikan amarah. Menurut Blood (dalam Davita, 2021) orang yang matang secara emosional mampu menjalani dan bertahan dalam hubungan pribadi, yang berdampak pada interaksi satu sama lain. Adhim (dalam Davita, 2021) setuju bahwa kematangan emosional adalah salah satu komponen yang sangat penting untuk mempertahankan hubungan dalam rumah tangga. Mereka yang memiliki kematangan yang positif akan lebih mampu menangani perbedaan di antara mereka.
Membangun keluarga berarti memasuki dunia baru dengan berbagai peran yang harus dijalani. Kesiapan menjalani peran ini membutuhkan pemahaman akan hak, kewajiban, dan tantangan dari setiap peran. Sang Pencipta manusia yaitu Allah swt. telah memberikan penjelasan melalui firmanNya dalam Q.S An-Nisa ayat 34 yang artinya:
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
Selesai dengan diri sendiri mulai dari paham terhadap peran-peran baru, sampai dengan kematangan emosi menjadi hal penting untuk membangun keluarga yang harmonis. Sehingga, menyelesaikan diri bukan sekadar pilihan, melainkan tanggung jawab personal sebelum menerima tanggung jawab interpersonal dalam sebuah keluarga. Maka, sebelum membangun keluarga, penting bagi kita untuk menyelesaikan persoalan diri terlebih dahulu.
Setiap orang tentu menginginkan keluarga yang harmonis, damai, dan saling menguatkan. Namun, semua itu tidak bisa tumbuh begitu saja. Ia tumbuh dari pribadi-pribadi yang telah belajar memahami diri dan siap menerima peran baru baik sebagai suami atau istri, sebagai ayah atau ibu. Jadi sebelum berkata y”YA””a pada sebuah ikatan pernikahan, pastikan bahwa diri kita telah berkata ya pada proses selesai dengan diri sendiri. Dan tidak ada kata terlambat untuk memulai proses itu, mulai hari ini pun bisa.
SUMBER:
Davita, J. R. (2021). Hubungan antara kematangan emosi dengan kesiapan menikah pada dewasa awal. Character Jurnal Penelitian Psikologi, 8(7).
Hakim, S. A., & Masfufah, U. (2023). Problematika Kesiapan Pernikahan Individu Dewasa Awal. Flourishing Journal, 3(8), 345-351. https://doi.org/10.17977/um070v3i82023p345-351
Nabila, N. I., & Nurwati, R. N. (2024). Keterkaitan antara pernikahan usia dini dengan keharmonisan keluarga dan pola pengasuhan anak. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial: Humanitas, 6(1).
Sari, F., & Sunarti, E. (2013). Kesiapan menikah pada dewasa muda dan pengaruhnya terhadap usia menikah. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 6(3), 143-153. https://doi.org/10.24156/jikk.2013.6.3.143
Penulis : Nisa Nurkhairiyah
Editor : Sakti Mutiara, S.Psi.
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved