Perilaku kenakalan seks remaja kian menjadi isu yang merajalela di Indonesia. Tak dipungkiri kita kerap menyaksikan berita remaja dari melakukan kekerasan seksual, seks bebas, hingga kehamilan di luar nikah. Juga, tak sedikit masalah ini mengerucut pada tren pernikahan dini. Hal ini dibuktikan oleh data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak., di mana tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan, dan juga tak sedikit pemohon pengajuan menikah yang disebabkan sudah hamil terlebih dahulu (Kemen PPPA, n.d.).
Data di atas menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman pendidikan seks bagi anak-anak masih sangat rendah. Realitasnya, isu-isu ini sudah sangat darurat, mendesak, dan mengkhawatirkan. Masalah-masalah ini tidak hanya memengaruhi kondisi kesejahteraan individu anak, tetapi juga memiliki dampak sosial yang lebih luas, seperti stigma sosial, putus sekolah, hingga stunting. Situasi ini menjadi tantangan dan perhatian penting bagi pemerintah dan masyarakat, terkhususnya orang tua sebagai pengasuh (caregiver) utama dan pertama, dalam memberikan pendidikan seks yang berguna membekali dan menyadarkan anak pentingnya menjaga kesehatan, kesejahteraan, dan martabat mereka. Di tengah tantangan ini, muncul pertanyaan penting, yakni mengapa orang tua harus memberikan pendidikan seks kepada anak sejak dini?
Masyarakat kita masih sering beranggapan bahwa pendidikan seks adalah hal yang tabu, sehingga tak sedikit orang tua yang merasa enggan dan malu untuk terbuka akan diskusi mengenai seks kepada anak-anaknya. Mereka menganggap bahwa anak mereka masih kecil atau belum cukup umur untuk mengetahui hal-hal berbau seks. Hal ini dapat terjadi karena kesalahan anggapan yang beredar di masyarakat awam bahwa pendidikan seks hanya persoalan seputar tindakan atau aktivitas seksual. Padahal sebenarnya, pendidikan seks bertujuan untuk membantu individu memahami perubahan fisik dan emosi yang terjadi selama pertumbuhan dan perkembangan mereka, memahami bagaimana alat reproduksi bekerja dan cara menjaga kesehatannya, kemudian bagaimana menjalin hubungan yang sehat, serta bagaimana menjaga harga diri dan menghormati hak dan batasan orang lain.
Adapun tujuan pendidikan seks bukanlah untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan hasrat seksual anak, tetapi untuk mencegah anak menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual.
Perlu bagi orang tua untuk menyadari krusialnya peran mereka dalam memberikan pendidikan, khususnya pendidikan seksual kepada anak karena orang yang sangat dekat dan berperan penting dalam perkembangan anak adalah orang tua. Menurut teori perkembangan psikososial, Erikson dalam Dunkel & Harbke (2017) mengemukakan bahwa individu mengalami krisis identitas pada masa remaja, di mana pada tahap ini remaja memiliki banyak pertanyaan dan kebingungan dalam membuat keputusan-keputusan. Ini menjadi fondasi bahwa peran orang tua merupakan faktor penting dalam perkembangan sosial dan emosional anak. Dengan demikian, dukungan orang tua dalam pendidikan seksual, seperti memberikan informasi dan nilai-nilai yang sesuai dan sehat dapat membantu anak dalam mengatasi krisis ini. Juga, dalam proses tersebut orang tua dapat memperkuat ikatan dengan anak-anak dan membantu mereka merasa nyaman membicarakan isu-isu seksual.
Selain itu, menurut Bandura dalam teori pembelajaran sosial menunjukkan bahwa anak-anak belajar melalui pengamatan dan interaksi sosial (Falk & Kim, 2019). Kita tahu bahwa orang tua merupakan tempat bersosialisasi pertama sehingga perannya sangat penting dalam pendidikan seks. Anak-anak mempelajari berbagai pelajaran hidup dan mengadaptasi pola perilaku dari orang tua mereka. Oleh karena itu, seharusnya orang tua mampu menjadi model peran yang baik dalam hal komunikasi yang sehat dan pengambilan keputusan yang tepat.
Kendati sudah banyak orang tua yang mulai menyadari pentingnya membangun komunikasi seputar seksualitas dengan anaknya, ternyata masih banyak faktor penghalang dan kontra akan pembiasaan komunikasi tersebut. Beberapa di antaranya adalah orang tua merasa tidak nyaman dan takut membuat anak malu, dan menganggap bahwa anak-anak masih terlalu muda dan polos untuk menerima pendidikan seks (Sevilla dkk., 2016). Adapun dari pihak remaja, mereka merasa topik seks adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan seharusnya tidak dibicarakan dengan orang tua.
Padahal sejatinya, tanpa pengawasan orang tua di era digital ini, anak dan remaja bisa tenggelam dalam lautan informasi karena mereka kurang bisa memilah dan memilih dengan bijak informasi mana yang tepat dan sesuai dengan nilai dan norma sosial. Mereka juga sangat rentan terkena paparan pornografi tiap harinya. Akibat buruknya adalah anak dan remaja dapat menyerap gagasan hubungan dan seks yang tidak sehat karena konten pornografi lebih mengandung kekerasan, dan konsumsi pornografi dapat memperkuat kecenderungan pada sikap pemaksaan seksual (Flood, 2009).
Oleh karena itu, orang tua harus mulai terbuka dan toleran akan keingintahuan remaja yang tinggi dengan mendorong pertanyaan dan diskusi tanpa membuat mereka merasa dipermalukan dan dihakimi, jangan sampai mereka mempelajari seks sendirian. Hal ini sangat berbahaya apabila mereka memperoleh informasi dan pengalaman yang salah. Juga, anak-anak lebih mungkin menunjukkan perilaku seksual yang lebih aman dan sikap seksual yang positif ketika orang tua mereka menjadi sumber pertama informasi seksualitas bagi mereka (Moore & Davidson, 1999, dalam Teo & Morawska, 2021).
Berikut ini terdapat beberapa poin penting yang dapat diperhatikan orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak:
Bukan berarti memberikan informasi yang mendalam tentang seks, tetapi lebih tentang membantu anak memahami tubuh mereka sendiri, batasan pribadi, dan bagaimana berkomunikasi dengan orang dewasa jika mereka merasa tidak nyaman atau ada yang mengganggu mereka. Penting untuk diingat bahwa setiap anak berkembang dengan kecepatan yang berbeda sehingga pendekatannya disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan kematangan anak. Selalu buka komunikasi dengan anak Anda sehingga mereka merasa nyaman berbicara tentang topik seksualitas dan mendapat informasi yang akurat. Selain itu, peran orang tua sebagai model perilaku yang sehat dalam hubungan dan komunikasi juga sangat penting.
Bahkan, sebelum dapat mengobrol dengan anak soal seks, yang mana merupakan hal yang sensitif, penting bagi orang tua untuk membangun komunikasi terbuka dan ruang bercerita yang aman dan nyaman bagi anak. Untuk itu, orang tua perlu terbuka terlebih dahulu dan menjadi pendengar yang baik dan responsif ketika anak memiliki pertanyaan atau kekhawatiran mengenai apapun. Selain itu, penting untuk memberikan dorongan kepada anak untuk bertanya dan menjawab pertanyaan tersebut dengan jujur serta tidak menilai atau memarahi anak karena bertanya tentang seksualitas. Hal ini sangat berdampak sehingga anak dapat berbicara secara terbuka tentang tubuh mereka, emosi, dan pertanyaan seksual mereka.
Sumber-sumber informasi ini dapat termasuk buku, situs web, atau sumber daya edukatif yang dapat membantu mereka memahami perubahan yang terjadi pada tubuh anak dan konsep-konsep dasar tentang seksualitas.
Dengan memberikan pemahaman bahwa bahwa semua orang harus memberikan izin sebelum melakukan sentuhan fisik atau aktivitas seksual.
Penghargaan terhadap tubuh sendiri dan tubuh orang lain membantu anak supaya terhindar menjadi pelaku pelecehan seksual maupun korban pelecehan seksual dengan memahami batasan pribadi.
Ketika anak mencapai usia remaja, orang tua perlu memperluas diskusi menuju aspek-aspek yang lebih kompleks, seperti tentang bagaimana membangun hubungan dan seksualitas dengan rasa hormat, komunikasi yang sehat, dan mengambil keputusan yang bijak berlandaskan nilai-nilai moral dan agama.
Referensi:
Dunkel, C. S., & Harbke, C. (2017). A review of measures of Erikson’s stages of psychosocial development: Evidence for a general factor. Journal of Adult Development, 24(1), 58–76. https://doi.org/10.1007/s10804-016-9247-4
Falk, R., & Kim, S. S. (2019). The war system: An interdisciplinary approach. Routledge.
Flood, M. (2009). The harms of pornography exposure among children and young people. Child Abuse Review, 18(6), 384–400. https://doi.org/10.1002/car.1092
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. (n.d.). KEMEN PPPA: PERKAWINAN ANAK DI INDONESIA SUDAH MENGKHAWATIRKAN. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4357/kemen-pppa-perkawi nan-anak-di-indonesia-sudah-mengkhawatirkan
Sevilla, T. M., Sanabria, J. P., Orcasita, L. T., & Palma, D. M. (2016). Consistencies and discrepancies in communication between parents and teenage children about sexuality. Paidéia (Ribeirão Preto), 26(64), 139–147. https://doi.org/10.1590/1982-43272664201601
Teo, S., & Morawska, A. (2021). Communicating with children about sexuality: A randomised controlled trial of a brief parenting discussion group. Journal of Child and Family Studies, 30(6), 1487–1500. https://doi.org/10.1007/s10826-021-01948-w
Penulis: Siti Nisrina Hanifah/LAKI
Editor: Nur Rohmah Itsnaini/LAKI
Image by pressfoto on Freepik
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved