Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang masuk prolegnas pada tahun 2020 ditolak oleh gerakan feminis yang alergi terhadap keluarga dengan berbagai alasan teknis yang dibuat-buat. Pembahasan RUU KK tentunya masih terbuka bagi berbagai masukan konstruktif. Namun sangat disayangkan, penolakan terhadap RUU KK banyak terpengaruh oleh argumen kaum feminis. Feminisme memang “alergi” terhadap institusi keluarga, apalagi yang dibangun atas dasar nilai-nilai agama. Tuduhan terkait domestifikasi perempuan, simbol patriarki adalah prasangka buruk yang berlebihan dari kelompok feminis ketika menyerang institusi keluarga. Kaum feminis melihat nilai-nilai keluarga dengan penuh kecurigaan. Pasalnya, dalam pandangan feminisme, nilai-nilai keluarga (family values) adalah sebuah upaya sistematis untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki, dan melemahkan kedudukan perempuan dan anak-anak dan merupakan penyebab kekerasan dan eksploitasi seksual dalam keluarga. Feminisme liberal, radikal, dan sosialis atau marxis menganggap keluarga sebagai wujud diskriminasi terhadap perempuan pada unit terkecil (Aulasyahied, 2019, pp. 93–94). Kaum feminis lupa bawa mereka juga terlahir dari keluarga dan tanpa adanya keluarga yang alamiah dan sehat maka masyarakat akan Punah.
Suburnya gerakan feminisme, tak bisa dilepaskan dari agenda sekularisasi nilai-nilai keluarga (family values) di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Proses sekularisasi dan permusuhan terhadap agama secara masif telah mengubah konsep-konsep kunci terkait keluarga seperti konsep seksualitas dan jenis kelamin. Sekularisasi juga menghasilkan konsep kesetaraan gender dan orientasi seksual untuk melegitimasi jenis keluarga yang aneh-aneh yang mereka sebut “diverse family”, seperti keluarga homoseksual, keluarga tanpa ikatan pernikahan (cohabitation), dan lain-lain. Sekularisasi nilai-nilai keluarga pada akhirnya menempatkan keluarga yang berdasarkan nilai-nilai agama dan moralitas, sebagai keluarga tradisional dan kolot. Sedangkan keluarga yang terlepas dari nilai moral dan agama disebut sebagai keluarga modern dan progresif. Dampak sekularisasi nilai-nilai keluarga kemudian diikuti dengan sekularisasi hukum dan produk kebijakan publik.
Hukum keluarga di Barat menurut Voegeli telah mengalami individualisasi akibat proses sekularisasi. Di Negara Barat seperti Jerman, Undang-Undang keluarga semakin memberi ruang pada pengaturan pribadi/ individu menggantikan konsep keluarga natural yang berakar pada pernikahan (Voegeli, 2005, p. 27). Sedangkan di Indonesia, ikatan
keluarga dan pernikahan didasarkan pada nilai-nilai agama. Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan secara spesifik yang dimaksud dengan pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, memandang keluarga sebagai ikatan sakral dan berdimensi spiritual. Keluarga menurut ajaran Islam adalah entitas yang meliputi dunia dan akherat.
Keluarga, disebutkan beberapa kali dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Artikel 16 menyebutkan bahwa keluarga adalah unit masyarakat yang bersifat natural dan fundamental yang berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara. Kalangan Pro-Family di Barat berpendapat bahwa artikel 16 tersebut secara jelas mengindikasikan bahwa keluarga hanya dapat dibangun berdasarkan pernikahan antara lakilaki dan perempuan. Namun, konsep keluarga yang selama ini dipahami secara universal oleh masyarakat dunia yang asasnya adalah pernikahan antara laki-laki dengan perempuan, dan bersifat natural serta fundamental telah digugat oleh kelompok feminis dan para aktivis LGBT. Artikel 16 UDHR tersebut menurut mereka tidak dimaksudkan untuk membatasi pada pernikahan heteroseksual. Jagger dan Wright berpendapat bahwa keluarga tidak bersifat universal dan tidak stabil, serta bukan suatu entitas yang esensial (fundamental). Pengelompokan yang dinamakan “keluarga” hanyalah sebuah konstruk sosial dan tidak bersifat natural atau diturunkan secara biologis. Keluarga dan hubungan keluarga (family
relations) bersifat fleksibel, cair dan kontingen (Jagger & Wright, 2004, p. 3). Negara-negara Barat akhirnya satu per satu melegalisasi pernikahan sejenis dan mengakui bentuk keluarga yang aneh aneh dan tidak alamiah, seperti keluarga homoseksual dan keluarga tanpa pernikahan (kumpul kebo). Hal ini membuktikan bahwa gerakan feminism dan LGBT sudah melanggar hak asasi manusia (HAM). Argumen ini juga tidak koheren dengan propaganda mereka yang selalu membawa-bawa HAM sebagai alasan atas Feminisme dan LGBT yang mereka gembar-gemborkan. Sangat disayangkan, saat ini di Indonesia pun gugatan terhadap konsep keluarga sangat kencang digaungkan oleh kelompok feminisme dengan mengatasnamakan kesetaraan gender atau berlindung dibalik isu kekerasan seksual. Masyarakat Indonesia, apakah itu para sivitas akademik, pembuat kebijakan dan aktivis yang peduli pada isu perempuan dan keluarga, akhirnya secara tidak sadar terbawa oleh wacana-wacana yang sebenarnya sangat destruktif terhadap ketahanan keluarga Indonesia. Oleh karena itu, pelatihan dasar yang komprehensif terkait isu mengenai Ketahanan Keluarga, mencakup konsep dasar keluarga sampai pengetahuan hukum dan advokasi, sangat perlu dilakukan secara bergelombang bagi masyarakat, sebagai usaha menyatukan langkah perjuangan bangsa Indonesia dalam mengatasi berbagai tantangan di zaman ini.
Gerakan Indonesia Beradab (GIB) menyelanggarakan program ini dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan dasar tentang konsep ketahanan keluarga dan tantangan pemikiran dari gerakan antikeluarga (feminisme, gerakan LGBT, termasuk sex bebas, dan sebagainya). Di samping itu, program ini juga bertujuan menyamakan persepsi dalam perjuangan membangun ketahanan keluarga dan melawan feminisme radikal di mana di dalamnya berlindung gerakan LGBT dan sex bebas.
Sekolah Ilmu Keluarga ini menghadirkan pembicara yang merupakan para ahli dari berbagai bidang keahlian, seperti hukum, ilmu keluarga, psikologi, ilmu komunikasi, dan ilmu sosial yang lainnya. Para ahli itu di antaranya, Prof. Atif Latipulhayat dari UNPAD, Prof. Euis Sunarti dari IPB, Dr. Heru Susetyo dari UI, dan Dr. Bagus Riyono dari UGM, serta beberapa aktivis di bidang hukum, peradaban, dan keluarga.
Sekolah Ilmu Keluarga ini dimulai pada 24 Oktober 2020 yang diselenggarakan secara marathon di setiap akhir pekan hingga 22 November 2020 melalui platform Zoom Meeting.
Peserta yang terdaftar pada Sekolah Ilmu Keluarga ini mencapai 500 orang dan terdiri dari kalangan masyarakat yang aktif dalam gerakan sosial kemasyarakatan.
Copyright 2021 Gerakan Indonesia Beradab. All Right Reserved